Rabu, 22 September 2010

Sang Pencerah Dalam Pandangan Orang Biasa




Rabu, 16 September 2010 jam 15.00 (Toeng!!!! resmi banget awalnya. Hehhehhehe ) tanggal dan hari itu adalah waktu aku dan teman-teman nonton berempat Sang Pencerah di 21 PIM. Penasaran itu yang ada dibenakku tentang film ini. Karena aku dilahirkan oleh keluarga NU, dibesarkan pada lingkungan Muhammadyah, dan kerja pada lingkungan yang majemuk. Makanya aku penasaran dengan sosok Ahmad Dahlan yang sering aku dengar itu dari teman-teman yang sekolah di Muhammadyah.

Setelah menonton film besutan Hanung Bramantyo ini, aku bisa simpulkan film ini penuh dengan Keputusasaan, Kesetiaan, dan Pengharapan. Dari awal sampai akhir film yang dibintangi oleh Lukman Sardi ini Sangat Penuh Keputusasaan ini disebabkan karena tokoh ini berperan sebagai agent of change atau dengan kata lain adalah seorang perubah. Dan yang namanya berubah maka akan “melawan” kebiasaan atau dengan kata lain mengalami yang namanya pergesekan. Jangankan yang namanya merubah kebiasaan merubah posisi mata dari yang terbuka menjadi tertutup itu pun pasti mengalami “gesekan” yang membutuhkan waktu dan tenaga. Jadi suatu perubahan itu pasti membutuhkan yang namanya perubah, sesuatu yang dirubah, tenaga dan waktu.
Ahmad Dahlan yang ingin merubah kebiasaan yang menurutnya tidak berdasarkan aturan agama yang sebenarnya ini sangat penuh dengan pergesekan karena merubah sesuatu kebiasaan itu sangat sulit, dan karena sulitnya itu Sang Perubah pasti mengalami yang namanya keputusasaan. Tapi meskipun sering mengalami hopeless Ahmad Dahlan tetap bisa bangkit kembali karena dia dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mendukungnya. Ia disana ada istrinya yang setia dan murid-murid yang selalu berada dibelakangnya. Maka lepasnya pengharapan itu bisa digantikan dengan pengharapan yang menggebu.

Ahmad Dahlan sangat beruntung ia mendapatkan istrinya yang sholehah. Ketika ia mendapat masalah sang istri meskipun tidak banyak berbicara selalu disamping ia, hmm apa lagi aku sangat menyukai keromantisan yang ditunjukkan oleh sang istri. Bagiku ada dua kejadian yang sangat romantis ditontonkan oleh sang istri. Yang pertama adalah pada saat sang suami curhat tentang masalahnya sambil makan ubi rebus, hmm istrinya yang diperankan oleh Zaskia Adya Mecca mengupas kulit ubi yang akan dimakan oleh suaminya lalu memberikan kepada Ahmad Dahlan. Hmm sangat romantis, mungkin bagi orang itu hal yang sepele tapi disanalah letak keromantisan sang istri. Adegan kedua yang romantis menurutku adalah adegan pada saat sang istri memberikan uang tabungannya kepada sang suami untuk kembali mendirikan musholah yang telah dirubuhkan oleh masyarakat yang tidak sepaham dengan Dahlan. Benarlah bahasa Quran bahwa “…..mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (Al Baqoroh:187). Suami dan istri itu saling melindungi dan memperindah (Allah aku mau make a wish dl semoga aq dapat istri yang shalehah dan romantis.aaaaamiin).
Film ini kalau aku nilai adalah film biografi dari Ahmad Dahlan karena kelihatan sekali bahwa tokoh yang lain hanyalah pelengkap dari cerita. Sehingga konflik yang ada pada cerita adalah masalah yang dihadapi oleh Ahmad Dahlan. Salah satu masalah yang buat aku kecewa adalah ketika masalah perdebatan masalah kiblat yang saat yang lalu juga kita alami. Ahmad Dahlan sadar bahwa kiblat masjid dalam cerita tidak sesuai dengan arahnya lalu ia mengajak berdiskusi semua tetua agama. Aku pikir dengan ilmu dan alasan yang ia punya ia akan menjelaskan kepada tetua agama tentang pendapatnya, tapi lagi-lagi itu terbentur dengan pendapat seorang tetua yang menyatakan bahwa peta yang ia gunakan adalah buatan orang kafir, padahal ketika adegan ia digugat tentang madrasyah yang didirikan menggunakan meja dan meniru orang kafir bisa dijawabnya dengan mengembalikan omongan.

Pada adegan itu yang aku sangat sayangkan karena dari awal tokoh ini berfungsi merubah kebiasaan yang melanggar aturan syar’i tapi pada peristiwa yang penting itu ia “kalah” karena alasan peta itu buatan kafir. Tapi ada satu adegan yang sangat aku suka selain adegan romantis adalah adegan ketika Ahmad Dahlan ditanyai oleh muridnya apa yang dimaksud dengan agama, Sang Kiai tidak menjawab langsung apa yang dimaksud dengan agama tetapi ia malah memainkan biola yang ia dapat pada saat perjalanan haji. Dengan indahnya ia memainkan biola itu sampai-sampai semua orang yang mendengarkan tertidur. Lalu Ahmad Dahlan menjawab bagaimana rasanya? Murid-murid pun menjawab sangat indah dan buat tenang. Lalu ia pun menjelaskan bahwa begitulah agama. Tidak lama dari itu ia meminta muridnya yang diperankan oleh Jushoa Suherman untuk memainkan biolanya, sang murid yang memang tidak bisa memainkan biola memainkan biola dengan suara yang tidak enak didengar. Lalu sang kiai bertanya lagi bagaiman rasanya. Dengan jujur para murid menjawab tidak enak didengar, kacau dan merusak pendengaran. Lalu lagi-lagi sang kiai menjelaskan itulah agama jika tidak berdasarkan ilmu.

Tapi dibalik semua itu film ini aku pikir layak untuk jadi tontonan yang menuntun, tontonan yang memotivasi. Tontonan yang mengingatkan bahwa kita harus selalu berubah, berubah dengan alasan yang kuat dan mengarah kepada kebaikan. Film yang mengajarkan bahwa mengajar itu tidak harus kaku, yang mengajarkan bahwa mengajar itu harus melek dunia sekitar sehingga up to date.
Teruslah berubah karena jika kita tidak mengalami perubahan pertanda kita sudah mati ( orang biasa)

Palembang, 22092010
2:07 PM
Thoriq SITAF

Tidak ada komentar: