Sabtu, 21 Agustus 2010

Satu Jam Pembantaian Insan




Gelap, kaku keadaan di dalam ruangan rumah begitu juga barang-barang di dalamnya pun diam seribu bahasa. Rembulan pun tak mengeluarkan panah lembutnya ke bumi dan Sang Malam pun seperti biasanya dengan pakain gelapnya.
Pasukan angin malam mencoba merangsek ke dalam pori-poriku, mencoba mendinginkan hatiku yang membara. Yang jelas aku harus melakukannya hari ini juga. Aku pun melangkah dengan pasti menuju dapur mengambil sesuatu yang kan ku gunakan untuk melaksanakan semua impianku tuk hidup damai. Seberkas cahaya mantul dari barang yang ku ambil. Tajam, hidup damai itulah yang dapat ku lihat. Benda ini,lah yang kan mewujudkan semua keinginanku. Pisau, ya pisau inilah yang akan mewujudkannya.
Aku pun melangkahkan kaki dengan mudahnya, ke kamar orang yang selalu mengangguku kulihat banyak bayangan hitam berklebatan yang ternyata pasukan syetan menghampiriku. Mereka menuntun kakiku tuk melangkah. Ku buka pintu kamar itu.
“Krek…..” Suara pintu pun seolah berpihak pada ku dengan menimbulkan suara yang tak begitu besar sehingga nyaris tak terdengar.
Itu dia manusia yang selalu mengangguku, dan yang selalu dibela. Ku hampiri sosok tubuh itu. Ini yang pertama.
“Cras, cras, cras.”
Berkali-kali ku ayunkan pisau yang ku pegang ke arah tubuh mungil yang sebulan lagi genap berusia delapan tahun itu. Darah pun berhamburan ke mana-mana, mengalir bagai anak sungai. Satu orang telah tiada, tak ada lagi yang akan mengangguku. Tak akan ada lagi manusia yang dibela.
“Bu, lihat adik nih. Dia merusak hasil karyaku. Besokkan akan dikumpul. Nanti aku kena marah guru nih!” aduku kepada Ibu
“Salah kamu sendiri, masak taruh barang sembarangan!” jawabnya yang tak sesuai dengan keinginanku.
Tiba-tiba lembaran-lembaran memoriku muncul bagai adegan film yang diputar oleh pasukan syetan yang sekaligus menambah semangatku untuk hidup damai tanpa seorang pun yang mengangguku, yang dibela, yang menyalahkanku, yang memarahiku, yang……, yang. Tak terbayangkan alangkah senang dan bebasnya aku jika itu semua dapat terwujud.
Isi ruangan pun hanya bisa berdiam diri melihat kejadian yang barusan terjadi di dalam kamar itu. Mereka diam malas tak bergeming sedikit pun. Syetan- syetan pun bersorak sorai melihatnya. Biarlah sekarang aku menjadi sekutu syetan tapi jika semua apa yang ku inginkan terwujud aku takkan mau bersekutu lagi.
Aku segera mempercepat langkah. Aku takut orang yang tidak berlaku adil, yang selalu menyalahkanku, yang memerintahku ini-itu, yang selalu memarahiku terbangun. Ternyata apa yang ku takutkan pun terjadi.
“San, kamu dengar sesuatu?” tanya Ibu cemas.
Aku pun diam seribu bahasa, seolah-olah tak bertelinga mendengar pertanyaannya.
“Ibu dengar suara gaduh dari kamar adikmu!” sambungnya lagi.
Tanpa basa-basi, aku pun melayangkan pisau yang masih berdarah itu ke ibu.
“Cras……..!”
Tangan Ibu tergores. Ia berlari menjauhiku. Aku pun mengejarnya sambil mengayun-ayunkan pisau yang ku pegang.
“San, Insan, sadar nak. Ada apa dengan mu? Ini Ibu nak!”serunya mencoba menyadarkanku sambil menjauh.
“Apa Ibu? Kau yang seharusnya menyayangi ku tapi mengapa kau tidak pernah berlaku adil. Kau hanya membela adik, kau hanya menyalahiku padahal jelas-jelas adik yang salah. Kau suruh aku ini-itu padahal aku lelah, capek dari sekolah. Kau hanya menuntut, ku harus begini, begitu” jawabku penuh kebencian seakan mau menumpahkan semua isi hatiku yang lama ku pendam.
Lagi-lagi prajurit syetan tertawa dengan sekencang-kencangnya. Mereka terus memberi ku semangat sambil membuka memori lamaku satu persatu, sehingga menambah kebencianku.
“ Insan….. kamu ini bagaimana sih baju belum dicuci, terus taruh sepatu sembarangan”celoteh Ibu kesal
“San, adikmu itu disuapi makan dulu, ibu lagi sibuk nih!”teriak Ibu
“San kamu ini belum ganti pakaian juga !”
“Kamu ini malas benar nyapu rumah, tuh lihat sampah. Jangan dibiarkan saja”
“San, kamu kok nggak tau diri, masak nggak mau ngalah sama adik sendiri”
“San, kamu ini…….”
“Kamu ini…………”
Berkali-kali syetan membuka memori lamaku, sehingga memompa semangatku untuk membunuh orang yang sangat ku benci.
“Cras, cras”
Lagi-lagi pisau itu meminta nyawa, berkali-kali pisau itu ku ayunkan dan mengenai tubuh, muka ibu. Darah pun berhamburan kemana-mana. Ke mukaku, ke tubuhku, ke dinding. Sungai merah pun mengalir dengan derasnya. Lagi-lagi pasukan syetan tertawa kali ini ada yang besar sepertinya raja syetan ikut menonton dan memberiku semangat.
“Insan……….”serunya pelan sambil memegang tubuhnya yang luka tuk menahan rasa sakit.
Aku hanya bisa tersenyum puas melihat tubuhnya terkoyak, jarinya putus, darahnya mengalir membuat sungai merah yang mengalir begitu deras.
Dingin, lagi-lagi pasukan angin mencoba merangsek masuk kedalam tubuhku mencoba mendinginkan hatiku. Sinar putih meluncur dari langit yang ternyata pasukan malaikat yang tak mau tinggal diam melihat perbuatanku, dan perbuatan pasukan syetan yang sedari tadi terus membantuku melaksanakan cita-citaku tuk hidup damai, aman, bebas tak ada yang mengatur lagi.
“Mau apa kalian?”tanyaku pada pasukan malaikat yang baru turun
“Mau mencabut nyawaku”sambungku dengan sombongnya sambil mengarahkan pisau yang baru saja ku gunakan tuk mewujudkan semua harapanku ke mereka. Lalu ku jilat darah yang ada di pisau. Mereka pun tak bergeming dengan ucapan dan tingkah laku ku.
“Kamu sakit, sini Ibu kompres. Biar dingin”bujuk seorang wanita sambil meletakkan sepotong kain telah diberi air itu tuk bocah laki-laki yang umurnya sekitar dua tahunan yang terlelap tidur. Setelah melakukan itu ia tidak langsung tertidur tetapi menjagai anak itu.
“Plok,” suara tangan halusnya memukul nyamuk yang melintas di atas tubuh anak itu. Meskipun Sang Nyamuk hanya numpang lewat tapi ia harus mati demi anak yang terlelap tidur itu.
“Siapa dia?”tanyaku bingung melihat adegan yang sepertinya pernah ku alami
Para malaikat pun tak bergeming. Ternyata malaikat tak mau ketinggalan dengan pasukan syetan yang memutarkan film memori di otakku.
“San kamu lapar?”seru wanita tadi yang ternyata ibuku dan anak mungil itu sudah pasti aku. Aku pun mendapat pukulan telak tentang gambaran yang ada di hatiku.
“Di, bagaimana keadaan kakak”tanya wanita tadi pada bocah yang mungkin berusia lima tahun.
“Sini gantian sama Ibu. Kamu istirahat dulu kan sudah setengah hari nungguin kak Insan”
Berkali-kali muncul adegan yang menolak gambaran ku tentang ibu dan Adi, adikku, yang sangat jauh perbedaannya dengan yang ada di benakku.
“San kamu nggak apa-apa nak”
“Kak Insan sini Adi Bantu”
“San……”
“Kak…….”
“Insan kamu sudah makan nak”seru suara tiba-tiba yang berasal dari belakang ku
“Astagfirullah, Ya Allah apa yang ku lakukan”
Perasaan ku pun berkecamuk dengan kejadian yang barusan terjadi. Apakah ini hanya ilusiku atau ……..kenyataan. Butiran bening pun tak terasa mengalir di pipiku.
“Eh, kamu dari tadi Ibu lihat ngelamun. Emangnya mikiran apa sih, Ibu boleh tau nggak”sambungnya dengan pertanyaan yang beruntun sambil mencubit gemas tubuhku.
“Au….., sakit Bu nanti Insan ke sana”aduku kesakitan yang berarti aku tidak berada di ilusi atau alam hayalku. Yang berarti pula bahwa adegan mengerikan yang barusan ku lakukan berari itu hanya hayalanku. Ibu pun meninggalkan ku di kamar dengan kebimbangan.
Ku coba tuk merunut kembali apa yang ku lakukan. Oh ia akukan tadi lagi menulis surat buat lomba Surat Cintaku Untuk Ibu yang diselenggarakan oleh IPMUSTAQ (Ikatan Pemuda Musholah Taqwa) pada pukul sepuluh sekarang….. mataku pun mencari jam dan ternyata aku berhalusinasi membantai keluargaku selama satu jam.
Ya Allah biarkanlah adegan pembantaian tadi menjadi hayalanku saja jangan sampai menjadi itu menjadi kenyataan. Jauhilah aku dari bisikan syetan yang bersembunyi di dalam hatiku.
Aku pun melayangkan pandanganku ke arah surat yang telah aku buat.
Assalamuallaikum. Wr. Wb.
Segala puji hanya untuk Allah Raja di Raja yang telah memberikan setitik Rahman dan Rahimnya kepada segala mahluk ciptaan-Nya sehingga mereka bisa berkasih saying terhadap sesama.
Sholawat dan Salam kita harurkan kepada Hamab Allah yang suci yang menjadi suritauladan kita disegala bidang terutama dalam tauladan berkasihsayang Nabi Muhamad SAW.
Met hari Ibu, bu. Hari ini dimana ibu-ibu mendapat kasih sayang dari anggota keluarganya yang lain.ibu, tapi bibir ini tak sanggup tuk mengucapkannya. Apalagi tubuh ini tuk membantu memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih. Mungkin lewat suratlah aku bisa mengungkapkan selamat meskipun tulisan ini terasa kaku dan tak bisa membalas kasih sayang yang engkau berikan.
Bu, aku mulai sadar mengapa engkau begitu rewel. Dimana segala segala sesuatu yang aku lakukan engkau komentari. Aku mulai sadar mengapa kau suruh aku ini, itu. Ternyata apa yang engaku komentari itu semua perbuatan yang harus aku kurangi. Karena engkau berharap aku lebih baik. Aku baru sadar, apa yang engkau suruh ini, itu supaya pada saat dewasa nanti aku bisa berdikari. Aku bisa mandiri.
Entah berapa banyak, ugh, cacian, atau pun gerutuan yang aku ucapkan. Entah berapa banyak halusinasi pembantaian yang ku lakukan di benakku. Yang semua itu disebabkan oleh ketidaktahuan atas semua rewelmu.
Oleh karena itu maafkanlah anakmu ini, Ya Ibu. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosamu Ibu. Amin.
Wassalamuallikum. Wr. Wb.
Selamat Hari Ibu
Anakmu

Insan


“Kak Insan disuruh Ibu ke ……”
“Bruak.”
Aku pun berpaling ke sumber suara benda yang jatuh itu,
“Bu mobil-mobilan Insan hancur gara-gara Adi”pekikku kesal
“Salah kamu sendiri masak taruh barang sembarangan”

Palembang, Agustus 2004
Ya Allah jauhilah diri ku dari bisikan syetan yang bersembunyi di hati
To : Orang Tuaku, dan Saudara-saudaraku semoga Alloh berikan Hidaya-Nya kepada kita. Amin