Minggu, 28 November 2010

Gunung


karya Rafli AlHamdi

Gunung kau indah sekali
Disana aku bisa melihat macam macam pohon
Gunung kau penyelamat bumi
Rasanya aku ingin sekali naik gunung
Disana sangatlah dingin
Kesanapun sangat mudah
Kuharap libur kai ini ke gunung
Karena aku sangat menginginkannya
Gunung aku mencintaimu

Kamis, 21 Oktober 2010

Garuda di Dadaku


by Ihsan

Oh garuda
Engkaulah pahlawanku
Garuda didadaku itulah impianku
Engkaulah yang berada di dadaku
Engkaulah yang aku banggai

Garudalah yang mempunyai keberanian
Garudalah pemimpin Indonesia
Ialah seorang pahlawan yang tak pernah menyerah
Garuda jangan menyerah
Engkaulah kebangsaanku

Bunda



Bunda kau mendidikku membesarkanku selama 9 bulan 10 hari
Menahan sakit, tidur tidak bisa,makan susah
Di hari persalinan mu kau memper taruhkan nyawa mu
Kau berkatatidak apa aku mati yg penting anakku selamat
Lalu dokter datang dengan pisau untuk mengoperasi perutmu
Untuk mengeluarkanku , ketika ku keluar sura tangis memenuhi ruangan
Kau melihatku dengan penuh sayang kau berkata semoga anak ini menjadi anak yang sholeh sewaktu ku tumbuh besar kau mendidikku merawatku
Tapi kadang ku kasar padamu
Ku minta maaf dan sekaligus terima kasih kepada bunda ku
Made
by; Raihan

Garuda di Dadaku


Demi mencari satu bola
Demi mencari satu kemenangan
Demi yang terbaik di asia
Demi membanggakan Negara
Dan tetap bermain sportif
Itulah burung garuda
Yang selalu tertempel di dada
Aku bangga memakai baju itu
Kerena aku ingin mencari suatu bola
Dan satu tekad
By:Tashim

Garuda di Dadaku




Garuda didadaku. garuda adalah tim yang kubangga kan
Di Indonesia garuda itu adalah tim yang hebat
Aku sangat suka Indonesia. Dan Indonesia
Pernah main di aff aku yakin suatu saat
Indonesia masuk piala dunia semua pasti
Mendukung indonesia di slalu bermain sportiv
Tidak pernah kasar aku akan slalu mendukungmu hingga akhir zaman
Saat ini Indonesia lagi bertanding melawan maladewa
Dan Indonesia menang 3-0
By:Sadam

Hati Damai


karya M. Rezki Nurismedi

Hati damai dalam sekolahan
Banyak teman, banyak guru
Yang baik hati. di sekolah aku
Mencari ilmu .agar masa depanku
Lebih baik.disini diajarkan
Untuk mengenal Allah.diajari budaya
Dan sains.guru tidak pernah lelah
Untuk memberi anak murid
Ilmu dan tidak mengharap balasan

Rabu, 22 September 2010

Sang Pencerah Dalam Pandangan Orang Biasa




Rabu, 16 September 2010 jam 15.00 (Toeng!!!! resmi banget awalnya. Hehhehhehe ) tanggal dan hari itu adalah waktu aku dan teman-teman nonton berempat Sang Pencerah di 21 PIM. Penasaran itu yang ada dibenakku tentang film ini. Karena aku dilahirkan oleh keluarga NU, dibesarkan pada lingkungan Muhammadyah, dan kerja pada lingkungan yang majemuk. Makanya aku penasaran dengan sosok Ahmad Dahlan yang sering aku dengar itu dari teman-teman yang sekolah di Muhammadyah.

Setelah menonton film besutan Hanung Bramantyo ini, aku bisa simpulkan film ini penuh dengan Keputusasaan, Kesetiaan, dan Pengharapan. Dari awal sampai akhir film yang dibintangi oleh Lukman Sardi ini Sangat Penuh Keputusasaan ini disebabkan karena tokoh ini berperan sebagai agent of change atau dengan kata lain adalah seorang perubah. Dan yang namanya berubah maka akan “melawan” kebiasaan atau dengan kata lain mengalami yang namanya pergesekan. Jangankan yang namanya merubah kebiasaan merubah posisi mata dari yang terbuka menjadi tertutup itu pun pasti mengalami “gesekan” yang membutuhkan waktu dan tenaga. Jadi suatu perubahan itu pasti membutuhkan yang namanya perubah, sesuatu yang dirubah, tenaga dan waktu.
Ahmad Dahlan yang ingin merubah kebiasaan yang menurutnya tidak berdasarkan aturan agama yang sebenarnya ini sangat penuh dengan pergesekan karena merubah sesuatu kebiasaan itu sangat sulit, dan karena sulitnya itu Sang Perubah pasti mengalami yang namanya keputusasaan. Tapi meskipun sering mengalami hopeless Ahmad Dahlan tetap bisa bangkit kembali karena dia dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mendukungnya. Ia disana ada istrinya yang setia dan murid-murid yang selalu berada dibelakangnya. Maka lepasnya pengharapan itu bisa digantikan dengan pengharapan yang menggebu.

Ahmad Dahlan sangat beruntung ia mendapatkan istrinya yang sholehah. Ketika ia mendapat masalah sang istri meskipun tidak banyak berbicara selalu disamping ia, hmm apa lagi aku sangat menyukai keromantisan yang ditunjukkan oleh sang istri. Bagiku ada dua kejadian yang sangat romantis ditontonkan oleh sang istri. Yang pertama adalah pada saat sang suami curhat tentang masalahnya sambil makan ubi rebus, hmm istrinya yang diperankan oleh Zaskia Adya Mecca mengupas kulit ubi yang akan dimakan oleh suaminya lalu memberikan kepada Ahmad Dahlan. Hmm sangat romantis, mungkin bagi orang itu hal yang sepele tapi disanalah letak keromantisan sang istri. Adegan kedua yang romantis menurutku adalah adegan pada saat sang istri memberikan uang tabungannya kepada sang suami untuk kembali mendirikan musholah yang telah dirubuhkan oleh masyarakat yang tidak sepaham dengan Dahlan. Benarlah bahasa Quran bahwa “…..mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (Al Baqoroh:187). Suami dan istri itu saling melindungi dan memperindah (Allah aku mau make a wish dl semoga aq dapat istri yang shalehah dan romantis.aaaaamiin).
Film ini kalau aku nilai adalah film biografi dari Ahmad Dahlan karena kelihatan sekali bahwa tokoh yang lain hanyalah pelengkap dari cerita. Sehingga konflik yang ada pada cerita adalah masalah yang dihadapi oleh Ahmad Dahlan. Salah satu masalah yang buat aku kecewa adalah ketika masalah perdebatan masalah kiblat yang saat yang lalu juga kita alami. Ahmad Dahlan sadar bahwa kiblat masjid dalam cerita tidak sesuai dengan arahnya lalu ia mengajak berdiskusi semua tetua agama. Aku pikir dengan ilmu dan alasan yang ia punya ia akan menjelaskan kepada tetua agama tentang pendapatnya, tapi lagi-lagi itu terbentur dengan pendapat seorang tetua yang menyatakan bahwa peta yang ia gunakan adalah buatan orang kafir, padahal ketika adegan ia digugat tentang madrasyah yang didirikan menggunakan meja dan meniru orang kafir bisa dijawabnya dengan mengembalikan omongan.

Pada adegan itu yang aku sangat sayangkan karena dari awal tokoh ini berfungsi merubah kebiasaan yang melanggar aturan syar’i tapi pada peristiwa yang penting itu ia “kalah” karena alasan peta itu buatan kafir. Tapi ada satu adegan yang sangat aku suka selain adegan romantis adalah adegan ketika Ahmad Dahlan ditanyai oleh muridnya apa yang dimaksud dengan agama, Sang Kiai tidak menjawab langsung apa yang dimaksud dengan agama tetapi ia malah memainkan biola yang ia dapat pada saat perjalanan haji. Dengan indahnya ia memainkan biola itu sampai-sampai semua orang yang mendengarkan tertidur. Lalu Ahmad Dahlan menjawab bagaimana rasanya? Murid-murid pun menjawab sangat indah dan buat tenang. Lalu ia pun menjelaskan bahwa begitulah agama. Tidak lama dari itu ia meminta muridnya yang diperankan oleh Jushoa Suherman untuk memainkan biolanya, sang murid yang memang tidak bisa memainkan biola memainkan biola dengan suara yang tidak enak didengar. Lalu sang kiai bertanya lagi bagaiman rasanya. Dengan jujur para murid menjawab tidak enak didengar, kacau dan merusak pendengaran. Lalu lagi-lagi sang kiai menjelaskan itulah agama jika tidak berdasarkan ilmu.

Tapi dibalik semua itu film ini aku pikir layak untuk jadi tontonan yang menuntun, tontonan yang memotivasi. Tontonan yang mengingatkan bahwa kita harus selalu berubah, berubah dengan alasan yang kuat dan mengarah kepada kebaikan. Film yang mengajarkan bahwa mengajar itu tidak harus kaku, yang mengajarkan bahwa mengajar itu harus melek dunia sekitar sehingga up to date.
Teruslah berubah karena jika kita tidak mengalami perubahan pertanda kita sudah mati ( orang biasa)

Palembang, 22092010
2:07 PM
Thoriq SITAF

Senin, 20 September 2010

Sinopsis Sang Pencerah


Sang Pencerah, itulah judul film yang mengangkat kisah Pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan. Sebuah film yang akan mengenalkan kita pada sosok yang sudah berkontribusi sangat besar bagi pendidikan di Indonesia. Karena sebagaimana kita tahu, KH Ahmad Dahlan adalah yang memberikan pendidikan pada rakyat kelas bawah melalui pesantrennya.

Banyak sumber sejarah bahkan menyatakan bahwa KH Ahmad Dahlan lah yang sebenarnya lebih layak disebut bapak pendidikan, karena Ia lebih dulu dari Ki Hajar Dewantara dalam memberikan kesempatan ‘sekolah’ pada rakyat kecil.

Film yang diperkirakan menghabiskan biaya produksi sebesar 12 miliar rupiah ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Aktor ternama Lukman Sardi yang diberi kepercayaan memerankan KH. Ahmad Dahlan. Film ini sendiri menurut keterangan Hanung akan diluncurkan pada bulan puasa 2010 ini atau bulan Agustus/September dan akan serentak tayang di bioskop-bioskop tanah air.

Selain Lukman Sardi, film ini melibatkan aktor lainnya seperti Slamet Rahardjo, Sujiwo Tejo, Ikranegara, Zaskia Mecca dan yang mengejutkan adalah Giring Nidji.

Lokasi syuting untuk film yang diangkat dari buku Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basra ini dilakukan di Kampung Kauman, Kota Yogyakarta, serta beberapa tempat di daerah lain seperti Ambarawa (Jawa Tengah), dan Bogor.

Saya pribadi, sangat antusias menyambut film Sang Pencerah ini, karena menurut saya memang sangat dibutuhkan sebagai pencerahan sejarah, nilai perjuangan bangsa dan nilai-nilai ke Indonesia-an lainnya untuk diangkat ke layar lebar, ditengah film-film kuning yang kini dominan diproduksi ditanah air.

Setelah Film Soe Hoe Gie, Naga Bonar, Laskar Pelangi, Sang Pencerah, tentunya dinantikan karya-karya lainnya dari sineas kita terutama yang mengangkat kisah dan sejarah tokoh dan perjalanan bangsa ini, biar kita dan generasi yang akan datang tidak kehilangan akar sejarah bangsanya.

Deni Andriana

PENASARAN LIHAT SAJA TRILLERNYA

Kesurupan (Timbul Karena Ketakutan)



Ini adalah lelucon yang terpikir pada saat aku dan semua pegawai SITAF sedangkan melaksanakan outbond di perkebunan Pusri terletak di Jalan Indralaya-Palembang. Kejadian ini terjadi pada saat aku, Bunda Mona dan Laila serta teman-teman yang lain melihat-lihat jalan yang akan dilewati peserta pada saat Jurit Malam. Aku, Bunda Mona dan Laila jalannya agak paling belakang dibandingkan guru yang lain. Kami bertiga agak sedikit ketahutan (hehhehe sedikit saja bukan banyak) jadi aku iseng-iseng mengarang sebuah cerita, tidak tahu ide darimana tiba-tiba langsung saja aku ngomong seperti ini,
“Eh aku ada cerita, silahkan pilih! Apa yang akan kamu lakukan jika ada teman yang kesurupan. A. Berteriak, B. Memukulnya, C. Berlari.”
Bunda Mona pun menjawab “Kalau aku berteriak minta tolong panggil teman yang lain.”
“Kalau kamu Bunda Laila?” aku alihkan pertanyaan ini ke Bunda Laila sambil kami bertiga terus berjalan mengejar yang lain.
“Kalau aku jelas berlarilah takut nanti dicekiknya atau malah nanti aku yang kesurupan.” Jelasnya dengan rincian yang memperkuat pendapatnya.
“Heheeheh………” kami bertiga tertawa mendengar jawaban itu.
“Kalau kau Za?” Tanya Bunda Mona,
“Kalau aku pilih semua jawaban, Berteriak minta tolong, karena takut dan siapa tahu temanku sadar maka aku memukulnya, lalu jika dia tidak sadar juga aku berlari menginggalkannya.”
“Hahahahahha…..gila kau” Komentar mereka

Palembang, Awal Masuk Sekolah Setelah Libur Idhul Fitri
&*&()_(*))*_***

Selasa, 31 Agustus 2010

Bulan-Bulan Kelelawar Hitam



Lorok, April 2000
Dear Dy,
Apa kabar? sudah lama nih nggak curhat sama kamu. Habis aku capek sih, kajian di pesantren berjubel banget . Tapi today I want tell u about my problems. Pokoke aku mau curhat banyak dengan kamu deh.
Tau nggak, aku sekarang belajar bahasa Arab, baca Al Quran alias ngaji dan sekarang latihan bagaimana cara berjilbab. Eh aku sudah satu tahun di pesantren. Pasti kamu bertanya deh koq aku mau belajar bahasa Arab, ngaji dan sekarang mau berjilbab padahal dulu kan paling anti dengan segala sesuatu yang berbau Islam. Tapi ya itulah tidak ada yang mustahil jika Tuhan sudah memanggil. Selain itu, segala yang berbau Islam di atas adalah suatu keharusan yang harus dipelajari di pesantren. Jadi ya senang gak senang harus senang.

Indralaya, awal Juli 2000
Dear Dy,
Sekarang aku sudah jadi M, A, H, A, S, I, S, W, A, MAHASISWA di fakultas impianku. Itu tuh fakultas MIPA jurusan Fisika di universitas yang termurah dan terluas se-Asia Tenggara, ya apalagi kalo bukan The University of Sriwijaya . Sekarang ini aku lagi mo cari kostan nih. Tapi aku bingung nih, kata tentorku di pesantren aku harus gabung dengan para jilbaber biar aku bisa bersosialisasi. Tapi ortuku lebih senang aku di kostan yang daerahnya majemuk, ditakutkan nanti aku gabung sama jilbaber aku bisa terpengaruh.
Akhirnya setelah berkonsultasi sana sini option dari ortu deh yang diterima. Sekarang aku berada di kostan Mentari yang tidak begitu jauh dari kampusku. Dengan ukuran kamar 4x4 m. eh hampir lupa sekarang aku pake jilbab (kalo di kampus) maklumlah panggilan Tuhan.

Indralaya, akhir Juli 2000
Dear Dy,
Aku sekarang sering diajak oleh para penghuni mushollah yang serba gede (Ups, maksudnya jilbab dan pakaiannya) tuk aktif di organisasi keagamaan. Ayah sih gak setuju kalo aku gabung di sana, takut aku kena pengaruh. Tapi tentorku, menyarankan supaya aku ikut gabung di sana,. Alasannya sih biar aku tau keadaan dan aktivitas mahasiswa yang beragama Islam di sana. Aku bingung, tolong dong, mana pilihan yang bagus. Lagi-lagi ortu atau tentorku.
Oh ia kita lupakan dulu deh yang diatas, pas masuk kuliah aku ketemu dengan cowok keren banget. Orangnya putih, rambutnya belah pinggir, hidungnya mancung, tingginya sih kurang lebih 177 cm. Kalo diibaratkan dengan artis mungkin seperti, Nicky Tirta, Si Damar dalam sinetron Bidadari. Cuma yang ini lebih tinggi. Jadi lebih keren deh. Duhai kekasihku duhai pujaanku what is your name akang? I love you.

Indralaya, awal Agustus 2000
Dear Dy,
Heboh, bgt gitu loh bulan ini. Why? Because, aku sekarang jadi anggota organisasi ke-Islaman sedangkan yang kedua ternyata cowok yang keren banget itu, ikhwan (itu tuh, istilahnya penghuni mushollah buat kaum Adam yang tau agama). Awalnya sih, aku menyayangkan cowok sekeren itu, koq sudah ngurusi kegiatan seperti ini agama Islam lagi. Tapi lama-lama senang juga karena sekarang lebih dekat dengan bapak keren satu ini.
Mengenai organisasi baruku pertamanya sih, aku agak kagok dengan all of activities in this organitation. Dari harus pake istilah gurun pasir lah ( meskipun sedikit ) seperti afwan untuk maaf, akhi untuk yang cowok, ukhti yang cewek, nunduk kalo ketemu yang lawan jenis, kalo mau syuro bahasa mereka untuk menggantikan istilah rapat pake penghalanglah baik itu berupa tripleks maupun kain. Tapi meskipun aneh dan sedikit menyusahkan, tapi untuk Tuhan pasti dapat aku lakukan. Dan di pesantren setidaknya meskipun sedikit sudah dipelajari.

Indralaya, akhir Agustus 2000
Dear Dy,
Aku makin kepincut nih dengan Faisal, itu tuh cowok keren yang aku ceritain awal bulan kemarin. Selain ganteng dia juga, seorang aktivis yang terkenal. Siapa sih yang kenal dengan doski, meskipun baru semester satu. Beliau dari SMA sudah aktif dengan gawean yang berbau Islam.
Aku punya pengalaman yang lucu, malu-maluin, sekaligus menegangkan tentang dia. Mau tau ceritanya ( mauuuuu ), begini ceritanya: pada saat syuro di dalam ruangan belajar untuk mempersiapkan kegiatan tuk Ramadhan. Aku kan jadi sekretaris. Karena di ruangan nggak ada yang namanya hijab, jadi kami bisa saling lihat apalagi duduknya saling berhadap-hadapan. Jadi bisa saling lihat deh mana-mana ikhwan yang ngurusin kegiatan mushollah yang selama ini hanya kenal dari suaranya sekarang tau bagaimana tampang wajah mereka ( mereka keren-keren lho, pada pake jenggot jadi tambah cute deh. Tapi Faisal tetep lebih keren. Faisal I Love U ). Mungkin mereka juga kali, mau tau mana yang namanya Trian yang terkenal dengan kecantikannya ( deh muji diri sendiri nih ). Tapi pas rapat berlangsung ternyata mereka tidak saling lihat.
Gila mereka ini pada nggak normal kali ya. Masak nggak nyetrum satu sama lain. Kalo aku kan tegangan 240 watt( dimana dong yang lucu dan menegangkannya ).
“Kita itu harus bisa mengajak mahasiswa yang lain tuk menghadiri acara Ramadhon nanti. Jangan sampai yang datang itu-itu saja!” Faisal angkat bicara setelah terpilih jadi ketua pelaksana.
“Kami sangat setuju dengan kamu Sal, benarkan Trian” Doni menanggapi omongan Faisal sambil mencari dukungan padaku.
Karena lagi kena hipnotis dengan ketampanan Faisal, aku pun menjawab,
“Ia, Faisal memang keren” kontan saja jawabanku yang nggak nyambung itu mendapat reaksi yang beragam dari peserta rapat, dari sekedar tertawa, manggut-manggut pertanda setuju dengan aku bahwa Faisal ganteng atau manggut yang lain maksudnya awas loe Trian habis ini tak kena sidang loe, bahkan ada bebarapa yang serempak mengucap Istighfar.
Itu kejadian yang lucu, nah sedangkan yang menegangkan itu terjadi pas aku berpapasan dengan My Love ( wah jarang-jarang nih , pucuk dicinta ulam pun tiba ).
“Asslamuallaikum” sapanya sambil melepaskan tendangan senyumnya padaku, jelas saja gawang hatiku kebobolan. Yang memang kagak dijaga dan kalau pun dijaga takkan ku halangi bola senyumnya.
Aduh Kang Mas senyummu manis sekali ( eh jangan-jangan ini lampu hijau nih, Cek n Ricek, Kabar-kabari ada gosip baru nih ). Pada saat berpapasan ternyata tanganku tak kuasa membawa buku yang wajibharusku miliki.
“Bruak...” semuanya terjatuh, kertas-kertas yang berada di dalamnya berserakkan. Arjunaku pun refleks memungutinya, tangan-tangan kekarnya telaten sekali.
“Apa ini?” tanyanya dengan nada heran sambil memegang kertas berkulit merah hati.
Melihat itu pun wajahku langsung menegang. Aduh Faisal pasti marah nih pikirku. Tapi, ia hanya tersipu dengan senyuman.
“Ini!” katanya sambil memberikan surat dengan buku dan kertas tugasku yang telah dikumpulkannya sambil melangkahkan kakinya setelah mengucapkan do’a kesejahteraan.
Tuhan, Faisal tahu isi hatiku. Dia baca surat yang berisi cintaku padanya. Apa dia bakalan marah denganku, tapi tadi dia tersenyum yang berarti........

Indralaya, awal September 2000
Dear Dy,
Sejak kejadian bulan kemarin, aku happy banget gitu loe. Why? Because aku dapat surat berkulit merah hati, tau nggak isinya,
Trian, sejak pertama kali aku memandang wajahmu. Hatiku terus tergoda melihat senyum manismu ( ye katahuan inikan lagunya ‘Umpan’, Thomas Jhorgy ). Aku tahu bahwa sebenarnya aku tak boleh melakukan ini, tapi hatiku tak sanggup menahannya. Aku tak sanggup menutupi meskipun aku tahu bahwa di dalam Islam nggak ada yang namanya pacaran. Tapi Trian, Ana Ukhibukum.
Oh Faisal, Ana Ukhibukum, I love u too, aku tresno karo koe, aku cinto jugo samo kau Faisal.

Indralaya, akhir September 2000
Dear Dy,
Trian, hari ini aku tunggu di depan kantin jam dua. Aku tunggu jawabanmu sekarang.
Itu adalah isi surat terakhir yang ku terima setelah kelima surat merah jambu yang ku terima di tempat yang sama yaitu di dalam lockerku. Faisal aku tahu kalau kau juga mencintaiku.
Kontan saja, karena cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Yang terjadi adalah otakku membayangkan apa yang akan terjadi pada proses penembakan nanti dan kata-kata apa yang akan diucapakan olehnya. My heart gundah-gulana dari pagi tadi ketika surat itu ku terima sampai sekarang ( aduh jatuh bangun nih ).
Ketika arloji berwarna yang sesuai dengan perasaanku menunjukkan lima menit terakhir mata kuliah pak Antoni, guru killer yang mengajar kalkulus. Yang kalau ngajar jarang sekali menatap mahasiswanya en sekali marah dunia serasa mau qiamat ( maaf, kalo terjadi kesamaan dalam penamaan dan karakter tokoh. Ini semua bukanlah merupakan unsur kesengajaan tetapi memang ketidaksengajaan semata ) dan lima menit pelabuhan armada cintaku dengan Sang Pangeran akan segera dimulai.
“Trian, mengapa kau tersenyum? Coba kau jelaskan materi yang barusan bapak sampaikan”berang Pak Antoni dengan logat Medannya ketika melihatku tersenyum membayangkan proses katakan cinta yang akan dilakukan Faisal. Akupun salting ( salah tingkah ) bingung nih materi apa yang akan diulangi. Wong satu pun nggak ada yang nyangkut teriak hatiku kebingungan.
“Maaf pak, waktunya sudah habis” Karen, gadis centil yang hobinya dandan dan bergosip itu angkat bicara ketika jam kuliah telah habis. Bagus Karen, terima kasih girang hatiku.
“Baiklah yang lain silahkan keluar, Trian kamu tetap di tempat”
Tuhan, bagaimana dengan Faisal pikirku.
Seribu delapan ratus detik aku diceramai, entah berapa ratus kata yang telah bapak satu ini keluarkan. Tapi tak ada satu pun yang nyangkut dipikiranku. Faisal sabar ya, jangan pulang pintaku dalam hati.
“Trian, yang jelas jangan kamu ulangi lagi”itulah kalimat pengakhir yang diucapkan oleh beliau yang ku ingat.
Dengan gerak cepat, ku tinggalkan ruangan tempatku menimba ilmu dan pak Antoni dalam kepuasannya.
“Faisal jangan marah ya”gumamku kebingungan apa yang akan terjadi nanti.
Ketika di kantin, ternyata Faisal tidak ada. Apa dia marah padaku cemas batinku.
“Bu, ada nggak tadi Faisal?”tanyaku pada penjaga kantin
“Maaf neng, ibu nggak tahu yang namanya Faisal”
“Pak Antoni, ini semua salah kamu. I hate you”maki ku menimpahkan kekesalan, yang membuat penjaga kantin bingung.
“Assalamuallaikum”tegur Aisyah, aku pun hanya diam seribu bahasa.
“Lagi ada masalah ya”sambungnya mencoba mengintrogasiku dengan senyum manis dan kelembutannya.
“Nggak kok”jawabku singkat.
“Kalo ada masalah cerita dong”
“The Choice Dialog Islam Kristen, boleh nggak pinjam bukunya”pintaku sambil mengalihkan pembicaraan.
“Ini, buku itu tentang membongkar kepalsuan Alkitab”jelasnya mengenai isi buku yang berkulit merah kecoklatan karya Ahmeed Deedat yang membuatku terkejut. Aku pun langsung membuka buku itu.
“Salah satu bukti Alkitab itu bukan firman Tuhan adalah adanya ayat porno. Seperti surat Yehezkiel pasal 23 ayat 1 sampai 21” urainya mengenai salah satu isi buku itu.
Aku pun segera mengambil Alkitab yang ada di dalam tasku, ku buka dan ternyata.... Tuhan.....
Sambil membuka lembar-lembar buku itu aku pun bertanya,
“Buat apa kamu pelajari agama orang lain?”tanyaku dengan sinis.
“Buat mencari agama yang sebenarnya”jawabnya tenang. Aku pun terkejut dengan isi Alkitab yang ternyata ada ayat-ayat yang begitu menjijikan ini dan tak layak disebut ayat suci. Serta parahnya lagi, aku tidak tahu meskipun aku sudah berusia 18 tahun dan di pesantren sudah enam tahun.
“Kalo Al Qur’an bener coba apa yang dimaksud dengan Qul’azu birobbinnas, Katakan aku berlindung pada Tuhan manusia, pada surat Annas. Bukankah yang dimaksud dengan Tuhan manusia disana adalah Yesus?”sergahku dengan pertanyaan yang biasanya membungkam mereka yang ngakunya beragama Al Haq ini, Islam.
Ternyata ronah wajahnya tidak sedikit pun berubah, apakah ia dapat menjawabnya batinku bertanya.
“Tuhan manusia disana bukan berarti Yesus, tetapi....Sebelum kesana Tuhan manusia itukan terdiri dari kata benda, Tuhan kata benda, manusia juga kata benda. Benarkan itu?” tanyanya balik dengan sedikit bermain kata-kata dan logika.
“Ia, apa maksudnya?” jawabku singkat disambung dengan pertanyaan.
“Tuhan manusia itu sama dengan Tas Trian yang merupakan kata benda, tas kata benda, Trian kata benda. Kalau seandainya katanya tadi Tuhan manusia berarti Tuhan berbentuk manusia yang berarti Yesus. Bagaimana dengan Tas Trian, apakah tas Trian itu berarti tas berbentuk Trian.”jelasnya sambil menatap mataku. Aku pun hanya tertegun diam dan menerima perumpamaannya.

Indralaya, awal Oktober 2000
Assalamuallaikum, Ry
Tau nggak sejak kejadian akhir September lalu, aku merubah jalan kehidupanku. Awalnya aku adalah kelelawar hitam yang diutus oleh Pesantren Alkitab Palembang* untuk mencuri informasi dan menyusup diantara domba-domba yang tersesat. Sekarang aku berada di antara domba-domba itu yang merupakan jalan yang lurus. Jalan yang penuh dengan kelogisan.
Eh tau nggak, pada saat penembakan ternyata Faisal tidak masuk kuliah karena sudah satu bulan dirawat di rumah sakit. Berarti selama ini ........ Biarlah siapa pun Sang Pencinta itu, yang jelas harus aku lupakan sejenak. Biarlah aku bercinta pada Sang Pencinta yang lebih kuat dari beliau. Yaitu Rabbku Allah SWT.
Palembang, 17 April 2005 20:20 WIB
Terima kasih buat keluargaku dan anak Jamaat Unsri
Cat: *Pesantren Alkitab Palembang adalah salah satu sekolah misionaris yang letaknya tidak begitu jauh dari Unsri.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Satu Jam Pembantaian Insan




Gelap, kaku keadaan di dalam ruangan rumah begitu juga barang-barang di dalamnya pun diam seribu bahasa. Rembulan pun tak mengeluarkan panah lembutnya ke bumi dan Sang Malam pun seperti biasanya dengan pakain gelapnya.
Pasukan angin malam mencoba merangsek ke dalam pori-poriku, mencoba mendinginkan hatiku yang membara. Yang jelas aku harus melakukannya hari ini juga. Aku pun melangkah dengan pasti menuju dapur mengambil sesuatu yang kan ku gunakan untuk melaksanakan semua impianku tuk hidup damai. Seberkas cahaya mantul dari barang yang ku ambil. Tajam, hidup damai itulah yang dapat ku lihat. Benda ini,lah yang kan mewujudkan semua keinginanku. Pisau, ya pisau inilah yang akan mewujudkannya.
Aku pun melangkahkan kaki dengan mudahnya, ke kamar orang yang selalu mengangguku kulihat banyak bayangan hitam berklebatan yang ternyata pasukan syetan menghampiriku. Mereka menuntun kakiku tuk melangkah. Ku buka pintu kamar itu.
“Krek…..” Suara pintu pun seolah berpihak pada ku dengan menimbulkan suara yang tak begitu besar sehingga nyaris tak terdengar.
Itu dia manusia yang selalu mengangguku, dan yang selalu dibela. Ku hampiri sosok tubuh itu. Ini yang pertama.
“Cras, cras, cras.”
Berkali-kali ku ayunkan pisau yang ku pegang ke arah tubuh mungil yang sebulan lagi genap berusia delapan tahun itu. Darah pun berhamburan ke mana-mana, mengalir bagai anak sungai. Satu orang telah tiada, tak ada lagi yang akan mengangguku. Tak akan ada lagi manusia yang dibela.
“Bu, lihat adik nih. Dia merusak hasil karyaku. Besokkan akan dikumpul. Nanti aku kena marah guru nih!” aduku kepada Ibu
“Salah kamu sendiri, masak taruh barang sembarangan!” jawabnya yang tak sesuai dengan keinginanku.
Tiba-tiba lembaran-lembaran memoriku muncul bagai adegan film yang diputar oleh pasukan syetan yang sekaligus menambah semangatku untuk hidup damai tanpa seorang pun yang mengangguku, yang dibela, yang menyalahkanku, yang memarahiku, yang……, yang. Tak terbayangkan alangkah senang dan bebasnya aku jika itu semua dapat terwujud.
Isi ruangan pun hanya bisa berdiam diri melihat kejadian yang barusan terjadi di dalam kamar itu. Mereka diam malas tak bergeming sedikit pun. Syetan- syetan pun bersorak sorai melihatnya. Biarlah sekarang aku menjadi sekutu syetan tapi jika semua apa yang ku inginkan terwujud aku takkan mau bersekutu lagi.
Aku segera mempercepat langkah. Aku takut orang yang tidak berlaku adil, yang selalu menyalahkanku, yang memerintahku ini-itu, yang selalu memarahiku terbangun. Ternyata apa yang ku takutkan pun terjadi.
“San, kamu dengar sesuatu?” tanya Ibu cemas.
Aku pun diam seribu bahasa, seolah-olah tak bertelinga mendengar pertanyaannya.
“Ibu dengar suara gaduh dari kamar adikmu!” sambungnya lagi.
Tanpa basa-basi, aku pun melayangkan pisau yang masih berdarah itu ke ibu.
“Cras……..!”
Tangan Ibu tergores. Ia berlari menjauhiku. Aku pun mengejarnya sambil mengayun-ayunkan pisau yang ku pegang.
“San, Insan, sadar nak. Ada apa dengan mu? Ini Ibu nak!”serunya mencoba menyadarkanku sambil menjauh.
“Apa Ibu? Kau yang seharusnya menyayangi ku tapi mengapa kau tidak pernah berlaku adil. Kau hanya membela adik, kau hanya menyalahiku padahal jelas-jelas adik yang salah. Kau suruh aku ini-itu padahal aku lelah, capek dari sekolah. Kau hanya menuntut, ku harus begini, begitu” jawabku penuh kebencian seakan mau menumpahkan semua isi hatiku yang lama ku pendam.
Lagi-lagi prajurit syetan tertawa dengan sekencang-kencangnya. Mereka terus memberi ku semangat sambil membuka memori lamaku satu persatu, sehingga menambah kebencianku.
“ Insan….. kamu ini bagaimana sih baju belum dicuci, terus taruh sepatu sembarangan”celoteh Ibu kesal
“San, adikmu itu disuapi makan dulu, ibu lagi sibuk nih!”teriak Ibu
“San kamu ini belum ganti pakaian juga !”
“Kamu ini malas benar nyapu rumah, tuh lihat sampah. Jangan dibiarkan saja”
“San, kamu kok nggak tau diri, masak nggak mau ngalah sama adik sendiri”
“San, kamu ini…….”
“Kamu ini…………”
Berkali-kali syetan membuka memori lamaku, sehingga memompa semangatku untuk membunuh orang yang sangat ku benci.
“Cras, cras”
Lagi-lagi pisau itu meminta nyawa, berkali-kali pisau itu ku ayunkan dan mengenai tubuh, muka ibu. Darah pun berhamburan kemana-mana. Ke mukaku, ke tubuhku, ke dinding. Sungai merah pun mengalir dengan derasnya. Lagi-lagi pasukan syetan tertawa kali ini ada yang besar sepertinya raja syetan ikut menonton dan memberiku semangat.
“Insan……….”serunya pelan sambil memegang tubuhnya yang luka tuk menahan rasa sakit.
Aku hanya bisa tersenyum puas melihat tubuhnya terkoyak, jarinya putus, darahnya mengalir membuat sungai merah yang mengalir begitu deras.
Dingin, lagi-lagi pasukan angin mencoba merangsek masuk kedalam tubuhku mencoba mendinginkan hatiku. Sinar putih meluncur dari langit yang ternyata pasukan malaikat yang tak mau tinggal diam melihat perbuatanku, dan perbuatan pasukan syetan yang sedari tadi terus membantuku melaksanakan cita-citaku tuk hidup damai, aman, bebas tak ada yang mengatur lagi.
“Mau apa kalian?”tanyaku pada pasukan malaikat yang baru turun
“Mau mencabut nyawaku”sambungku dengan sombongnya sambil mengarahkan pisau yang baru saja ku gunakan tuk mewujudkan semua harapanku ke mereka. Lalu ku jilat darah yang ada di pisau. Mereka pun tak bergeming dengan ucapan dan tingkah laku ku.
“Kamu sakit, sini Ibu kompres. Biar dingin”bujuk seorang wanita sambil meletakkan sepotong kain telah diberi air itu tuk bocah laki-laki yang umurnya sekitar dua tahunan yang terlelap tidur. Setelah melakukan itu ia tidak langsung tertidur tetapi menjagai anak itu.
“Plok,” suara tangan halusnya memukul nyamuk yang melintas di atas tubuh anak itu. Meskipun Sang Nyamuk hanya numpang lewat tapi ia harus mati demi anak yang terlelap tidur itu.
“Siapa dia?”tanyaku bingung melihat adegan yang sepertinya pernah ku alami
Para malaikat pun tak bergeming. Ternyata malaikat tak mau ketinggalan dengan pasukan syetan yang memutarkan film memori di otakku.
“San kamu lapar?”seru wanita tadi yang ternyata ibuku dan anak mungil itu sudah pasti aku. Aku pun mendapat pukulan telak tentang gambaran yang ada di hatiku.
“Di, bagaimana keadaan kakak”tanya wanita tadi pada bocah yang mungkin berusia lima tahun.
“Sini gantian sama Ibu. Kamu istirahat dulu kan sudah setengah hari nungguin kak Insan”
Berkali-kali muncul adegan yang menolak gambaran ku tentang ibu dan Adi, adikku, yang sangat jauh perbedaannya dengan yang ada di benakku.
“San kamu nggak apa-apa nak”
“Kak Insan sini Adi Bantu”
“San……”
“Kak…….”
“Insan kamu sudah makan nak”seru suara tiba-tiba yang berasal dari belakang ku
“Astagfirullah, Ya Allah apa yang ku lakukan”
Perasaan ku pun berkecamuk dengan kejadian yang barusan terjadi. Apakah ini hanya ilusiku atau ……..kenyataan. Butiran bening pun tak terasa mengalir di pipiku.
“Eh, kamu dari tadi Ibu lihat ngelamun. Emangnya mikiran apa sih, Ibu boleh tau nggak”sambungnya dengan pertanyaan yang beruntun sambil mencubit gemas tubuhku.
“Au….., sakit Bu nanti Insan ke sana”aduku kesakitan yang berarti aku tidak berada di ilusi atau alam hayalku. Yang berarti pula bahwa adegan mengerikan yang barusan ku lakukan berari itu hanya hayalanku. Ibu pun meninggalkan ku di kamar dengan kebimbangan.
Ku coba tuk merunut kembali apa yang ku lakukan. Oh ia akukan tadi lagi menulis surat buat lomba Surat Cintaku Untuk Ibu yang diselenggarakan oleh IPMUSTAQ (Ikatan Pemuda Musholah Taqwa) pada pukul sepuluh sekarang….. mataku pun mencari jam dan ternyata aku berhalusinasi membantai keluargaku selama satu jam.
Ya Allah biarkanlah adegan pembantaian tadi menjadi hayalanku saja jangan sampai menjadi itu menjadi kenyataan. Jauhilah aku dari bisikan syetan yang bersembunyi di dalam hatiku.
Aku pun melayangkan pandanganku ke arah surat yang telah aku buat.
Assalamuallaikum. Wr. Wb.
Segala puji hanya untuk Allah Raja di Raja yang telah memberikan setitik Rahman dan Rahimnya kepada segala mahluk ciptaan-Nya sehingga mereka bisa berkasih saying terhadap sesama.
Sholawat dan Salam kita harurkan kepada Hamab Allah yang suci yang menjadi suritauladan kita disegala bidang terutama dalam tauladan berkasihsayang Nabi Muhamad SAW.
Met hari Ibu, bu. Hari ini dimana ibu-ibu mendapat kasih sayang dari anggota keluarganya yang lain.ibu, tapi bibir ini tak sanggup tuk mengucapkannya. Apalagi tubuh ini tuk membantu memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih. Mungkin lewat suratlah aku bisa mengungkapkan selamat meskipun tulisan ini terasa kaku dan tak bisa membalas kasih sayang yang engkau berikan.
Bu, aku mulai sadar mengapa engkau begitu rewel. Dimana segala segala sesuatu yang aku lakukan engkau komentari. Aku mulai sadar mengapa kau suruh aku ini, itu. Ternyata apa yang engaku komentari itu semua perbuatan yang harus aku kurangi. Karena engkau berharap aku lebih baik. Aku baru sadar, apa yang engkau suruh ini, itu supaya pada saat dewasa nanti aku bisa berdikari. Aku bisa mandiri.
Entah berapa banyak, ugh, cacian, atau pun gerutuan yang aku ucapkan. Entah berapa banyak halusinasi pembantaian yang ku lakukan di benakku. Yang semua itu disebabkan oleh ketidaktahuan atas semua rewelmu.
Oleh karena itu maafkanlah anakmu ini, Ya Ibu. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosamu Ibu. Amin.
Wassalamuallikum. Wr. Wb.
Selamat Hari Ibu
Anakmu

Insan


“Kak Insan disuruh Ibu ke ……”
“Bruak.”
Aku pun berpaling ke sumber suara benda yang jatuh itu,
“Bu mobil-mobilan Insan hancur gara-gara Adi”pekikku kesal
“Salah kamu sendiri masak taruh barang sembarangan”

Palembang, Agustus 2004
Ya Allah jauhilah diri ku dari bisikan syetan yang bersembunyi di hati
To : Orang Tuaku, dan Saudara-saudaraku semoga Alloh berikan Hidaya-Nya kepada kita. Amin

Kamis, 22 Juli 2010

Zivilia, Aishiteru Cinta Terdekat


Hmm lagi-lagi aku mendengar lagu Zivilia Aishiteru, awalnya aku tidak begitu suka dengan lagu ini tapi karena sering didengar akhirnya suka juga apa lagi kemarin di facebook aku mendapat bukti bahwa lagu ini hasil jiplakan lagu band Jepang. Pas didengar memang mirip tu lagu dengan lagu band Jepang. Lagi-lagi plagiat pikirku tapi what ever la yang jelas aku g begitu pusing dengan berita itu. I don’t care.
Tapi judul lagu ini yang membuatku teringat akan seseorang dan “memaksa” untuk buat aku sedikit berkomentar. Aishiteru heheheh, ini judul mengingatkan aku akan sesorang. Ia dia menuliskan namaku di hapenya dengan nama Aishiteru. Awalnya aku tidak tahu apa itu arti Aishiteru lalu dia menjelaskan kalau Aishiteru itu berasal dari bahasa Jepang yang artinya aku suka kamu, aku cinta kamu. Hmm ternyata dia sangat sayang aku pikirku. Lalu aku pun memanggil dia dengan nama adek yppas, yang merupakan singkatan dari adek yang paling paling aku sayangi (ckckc lebay bgt ya. hehhehe).
Hari demi hari bahkan menjadi bulan, ternyata kami harus membatalkan perjanjian hati yang telah kami buat. Aku hopeless, remuk tanpa bentuk, berjalan tanpa arah. Aku mendadak gila dibuatnya. Aku coba menghubungi dia tapi kecewa yang ku dapat. Tapi aku tersadar bahwa aku tidak boleh mati, aku harus hidup tanpa dia. Jika sebelah kakiku patah maka aku harus tetap berdiri dan berjalan meskipun pincang. Jika tanganku sebelahnya putus maka aku harus tetap mengangkat beban meskipun tidak begitu kuat. Jika sebelah mataku buta maka aku harus tetap menggunakan sebelah mataku untuk membaca cerita kehidupan yang ada dihadapanku.
Ia meskipun begitu aku sadar aku masih punya orang terdekat yang sayang aku. Ada orang yang tersembunyi bilang Aishiteru kepadaku. Mereka ada buat aku. Ia mereka adalah keluarga dan sahabatku. Meskipun mereka tidak pernah menunjukkannya tapi bukti itu ada. Ia bukti itu ada. Benarlah kata orang kadang kita berpikir bahwa rumput tetangga indah padahal rumput di rumah kita itu indah. Kadang kita tidak menyadari itu. Terkadang kita sangat begitu berterima kasih sama orang lain yang menolong kita tapi kita terkadang jarang atau mungkin tidak pernah ucapkan terima kasih sama orang terdekat yang melakukan kebaikan pada kita.
An Nisa : 1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
At Tahrim : 6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Aku sadar aku boleh tetap sayang sama orang yang panggil aku Aishiteru dengan tetap menjalin silaturami sama dia tapi aku juga harus tetap sayang sama keluargaku yang sangat menyayangiku. (terima kasih keluargaku terima kasih adek yppas). (Home, 210710)

Hanya Satu Yaitu Kau


Beberapa pekan ini atau mungkin sudah masuk hitungan satu bulan kali ya, kami sekeluarga dan tetangga sekitar rumah resah oleh seorang pemuda yang kebiasaannya ‘ngelem’. Setiap malam dimulai pada saat waktu Maghrib (hehhehehe seperti setan saja kalau Maghrib berkeliaran atau memang tu anak da jadi ….. ). Kalau dia sudah ‘ngelem’ mulai de tertawa sendirian, mondar-mandir gak jelas kemana, enak kalau cuma itu yang dilakukannya. Eh ne anak malah panjang tangan ada saja barang yang hilang. Helm di rumah dan bunga plus potnya diambil juga oleh dia. Dikatakan gila tapi dia tau uang dan hoby maling. Ckckck bahkan dia pernah melempar bapak pakai kaleng lem yang dihisapnya pada hal bapak Cuma duduk saja di luar rumah. Alhamdulillah bapak tidak apa-apa dan masalah cepat selesai.
Selang beberapa hari lorong aman karena tidak ada dia, eh g taunya semalam pas lagi enak-enaknya makan sama keluarga dan dek Ayu sama dek Yayan lagi duduk di ruang tamu ada yang melempar kaca. “Bruaak” suara kaca pecah, sekeluarga panik adik-adikku yang kecil teriak. Aku dan dua adikku langsung keluar ambil kayu yang ada di samping rumah bekas kayu bangunan sebelah rumah. Kami teriak dan langsung mau memukuli dia, tu pemuda melawan tapi dilerai oleh keluarganya. Aku dan adikku Yayan mendekat tuk berikan “perlawanan”. Lalu keluarganya mendekat sambil berkata “Kagek kaconyo kami ganti (nanti kacanya kami ganti).” Aku spontan ngomong “ bukan masalah kaconyo wak tapi kalu keno adek aku cak mano?(bukan masalah kacanya wak tapi kalau kena adikku bagaimana?” adikku yang bungsu menangis sambil teriak karena shok.
Ternyata tu pemuda malah tetap berikan perlawanan sambil mengeluarkan senjata dan mau ambil batu yang ada disekitar dia. Ehm kami cemas, lalu adikku Yayan telepon temannya yang polisi lalu ceritakan masalah ini, namun jawaban yang diterima apa dia lagi di luar kota, lalu aku telepon bapak dan ceritakan kejadiannya, bapak pun langsung pulang ke rumah. Mamak pun suruh aku telepon Mang Badar, aku pun menelpon mang Badar dengan melihat bahwa tu “sampah” masih tetap mau memberikan perlawanan. Lagi-lagi apa yang ku dapat “maaf Mang Badar dak biso kesano karena bis kecelakaan ini be nak begawe dipaksoi kareno dak lemak badan (Maaf mang Badar tidak bisa kesana karena habis kecelakaan. Ini saja mau berangkat kerja dipaksai karena tidak enak badan)”
Aku kecewa melihat orang-orang yang bisa diharapkan pertolongannya bahkan tetangga sekitar rumah yang katanya juga resah tidak keluar seorang pun. Hei dimana kalian, kami ada masalah ni, bukankah ini juga masalah kalian? Batinku
Adik-adikku menelpon orang-orang yang bisa diharapkan ternyata apa hasilnya nihil. Lalu aku teringat dengan “seseorang’ yang bisa aku harapkan. Dan dia tidak akan mengecewakanku. Ia dia Allah, Dia dekat. Dia ada. Aku pun bermunajat dalam hati Allah Kau pasti menolongku. Tidak ada lagi yang bisa aku harapkan kecuali Kau. Kau sebaik-baik penyelesai masalah. Alhamdulillah suasana menjadi tenang dia pun ditarik oleh keluarganya ke dalam rumah. Tidak lama dari itu bapak datang, pak RT datang. Lagi-lagi aku tersadar hanya satu yang takkan buat aku kecewa yaitu Kau Allah. Aku sadar berkali-kali melukaiMu dengan kesalahan yang aku perbuat baik dengan sengaja atau pun karena ketidak tahuan aku. Tapi aku sadar tidak akan ada yang bisa menolongku kecuali Engkau Allah.
Allah Kau sebaik-baik pelindung Lindungilah aku sekeluarga. Allah Kau sebaik-baik pengabul permintaan tolong kabulkan pintaku ini. Maaf kan terkadang jadi “penantang” dan melukaiMu. (Home, 210710)

Selasa, 22 Juni 2010

Belajar Islam Dari Wong Palembang


Belajar Islam Dari Wong Palembang tidak salah ini judul tulisan, inilah reaksi dari satu temanku ketika baca tulisan yang aku sodorkan kepadanya untuk dimintai komentar (wah dari judul saja sudah dikomentari pikirku jangan-jangan tulisan ini bakalan dipermasalahkan fikirku). Kenapa harus belajar dari orang Palembang? Belajar agama lagi? Sambungnya dengan deretan pertanyaan.
Pertanyaan ini mungkin juga akan muncul pada teman-teman yang membaca tulisan ini (hehhehe jika ada sih), Wong Palembang dan Islam mungkin bagi orang itu dua kata yang tidak nyambung tetapi inilah yang bisa aku kasih tahu. Dibalik gambaran orang tentang Wong Palembang yang katanya sangar, masalah sepele ribut, masalah kecil bunuh-membunuh sampai-sampai temanku yang berasal dari Palembang ketika mau belajar atau kerja di Jawa menyembunyikan identitas aslinya karena takut tidak diterima baik oleh orang sekitar dan orang yang akan berikan mereka kerja. Padahal menurutku itu semua bukanlah ciri khas orang Palembang keseluruhan lagian masalah seperti itu bukan hanya masalah yang ada dan jadi ciri khas orang Palembang karena daerah lain pun ada yang seperti itu. Aku pikir mungkin wartawan Palembang yang sangat rajin mengirim berita yang mungkin tanpa sadar berdampak pada pencitraan orang Palembang.
Tapi apa hubungannya belajar Islam dengan orang Palembang lagi-lagi temanku bertanya tentang korelasi Islam dan Wong Palembang. Aku jawab mungkin bagi orang kebiasaan orang Palembang yang selalu mengucapkan kata “untung” setiap pada suasana itu adalah bayangan bahwa orang Palembang itu selalu mau cari untung selalu mencari yang tidak merugikan atau tidak mau rugi, sebagai contoh: Ontong cuman keno mato batu tadi (Untung cuma kena mata batu tadi), ontong kaki be yang keno lindes mobel (untung cuma kaki saja yang kena lindas mobil), ontong cuman kakinyo be yang patah (untung cuma kakinya saja yang patah), ontong mayatnyo dak angus tebakar (untung mayatnya tidak hangus terbakar).
Padahal secara logika apa untung yang bisa dicari dari mata yang kena batu? Manfaat apa yang bisa diambil jika kaki tidak bisa dipakai? Buat apa mayat meskipun tidak terbakar? Lagi-lagi temanku bertanya disertai tawa “Memang hubungan Islam dengan kata untung itu apa?” Reaksi seperti itu mungkin wajar ada-ada saja orang Palembang meskipun dalam musibah masih mau cari untung. Tetapi justru itulah pelajaran yang bisa kita ambil dari Wong Palembang yang sering menggunakan kata Ontong (untung) karena orang Palembang itu adalah orang yang selalu bersyukur bahkan pada saat dalam musibah ia selalu mencoba bersyukur dan mau berbaik sangka pada Allah atas musibah itu, sehebat apapun masalahnya orang Palembang selalu bersyukur, bukankah. Ini sangat sejalan dengan ayat Allah pada surat Al Mu'minuun : 78. Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.
Ayat di atas jelas sekali bahwa akan sangat sedikit manusia yang bersyukur meskipun mereka telah memiliki pendengaran, penglihatan dan hati yang sehat. Pendengaran, penglihatan dan hati yang sehat itu tidak akan bermafaat jika kita tidak pandai bersyukur. Kebiasaan orang Palembang yang selalu mau cari untung itu sebenarnya sudah sejalan dengan ayat Al Quran An Naml : 40
"Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia."
Jadi bagi teman-temanku yang berasal dari Palembang janganlah malu akui kalau berasal dari Palembang karena kejahatan itu bisa dilakukan oleh suku apa pun dan dimana pun, bagi teman-teman yang berasal dari daerah lain jangan malu juga belajar Islam dari Wong Palembang meskipun belajar bersyukur. Ingat Palembang pernah jadi pusat Islam Palembang pernah punya kesultanan Darussalam.(OB, 21 Jun)

Selasa, 25 Mei 2010

Bapak dan Juzri




“Ini kurang bersih! Ini seharusnya seperti ini! Kurang kuat nyikat bannya! Kalau sudah langsung dilap biar tidak ada bercaknya!” Itulah rentetan ucapan bapak ketika menanggapi motor yang habisku bersihkan. Komentar yang sudah aku duga.
“Cerewet, tidak pernah hargai hasil orang! Orang sudah capek.” batinku meledak mengeluarkan kata-kata karena kecewa. Setelah semua kata-kata itu keluar dari hak meskipun tak terucap oleh lidah lagi-lagi aku tersadar bahwa bapak sayang aku, ia seperti ini biar aku baik, biar motor itu bersih.
Lihatlah bagaimana bapak melindungimu ketika motor dari benturan dengan kendaraan lain. Ingatkah ketika belum ada motor, ia mengantar kemanapun, dimanapun, kapanpun. Ia seperti itu sangat sayang denganmu. Lagi-lagi hati mengingatiku akan kebaikan bapak.

Flp, 23 Mei 2010

Rabu, 14 April 2010

Apapun Kata Orang, Inilah Jalanku


Ini sebuah postingan menurut aq bagus sumbernya adalah http://www.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2010/04/02/4678/apapun-kata-oranginilah-jalanku/

semoga bermanfaat

Mereka bilang kerudungku seperti nenek-nenek
padahal rambut sasak mereka seperti daun kering melambai.
Mereka bilang jilbabku ketinggalan zaman
padahal tank-top mereka seperti koteka zaman batu.

Mereka bilang ucapanku seperti orang yang ceramah
padahal rumpian mereka tak lebih indah dari dengungan segerombol lebah.
Mereka bilang cara berfikirku ”ketuaan”
padahal umur kepala dua mereka tidak menjadikannya lebih dewasa dari seorang anak kecil berumur 5 tahun.

Mereka bilang tingkah polahku tidak enerjik,
padahal laku mereka lebih menyerupai banteng seruduk sana-seruduk sini.
Mereka bilang dandananku pucat,
padahal penampilan mereka lebih mirip dengan ondel-ondel
Mereka bilang aku nggak gaul,
padahal untuk mengenal konspirasi saja mereka geleng-geleng.

Mereka bilang:
aku sok suci
aku tidak menikmati hidup
aku nggak ngalir
aku fanatik sok lebay
dan sok bau surga.

Ku jawab:
Ya, aku berusaha untuk terus mensucikan diri.
Karena najis tidak pernah mendapatkan tempat dimanapun berada,
meskipun letaknya di atas tahta emas.

Ya, aku tidak menikmati hidup ini. Karena hidup yang kudambakan bukan hidup yang seperti ini yang lebih buruk dari hidupnya binatang ternak

Ya, aku nggak ngalir. Aku adalah ikan yang akan terus bergerak, tidak terseret air yang mengalir sederas apapun alirannya. Karena aku tidak ingin jatuh ke dalam pembuangan.

Ya, aku fanatik. Karena fanatik dalam kebenaran yang sesuai fitrah adalah menyenangkan dibanding fanatik dalam kesalahan yang fatrah (kufur)

Ya, aku memang sok lebay. Karena aku adalah manusia yang lemah yang terserang makhluk kecil macam virus saja tubuhku sudah ambruk, manusia yang bodoh yang tidak mengetahui nasib hidupku satu detik setelah ini, manusia yang serba kurang dan punya batas waktu yang ketika waktu itu habis aku tidak bisa mengulurnya ataupun mempercepatnya

Ya, aku ingin mencium bau surga yang dijanjikan Tuhanku yang baunya dapat tercium dari jarak ratusan tahun cahaya. Betapa meruginya orang yang tidak bisa mencium bau surga, karena itu menandakan betapa jauhnya posisinya dari surga...

Kullu maa huwa aatin qoribun
Segala sesuatu yang pasti datang itu dekat...

Manusia dibekali Islam dan Muhammad sebagai pembawa huda dan haq
Juga, manusia juga dibekali akal oleh Tuhannya
Namun, manusia diberi kebebasan memilih untuk hidupnya
Dan, there is only one choice

Untuk itulah aku memilih jalanku
Memilih jalan hidupku
Hidup yang aku dambakan
Mendamba apa yang telah dijanjikanNya
Janji yang tak akan pernah diingkari

Whatever... what they said

“Jika kamu menuruti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (Qs. Al-An’am 116).

"Allah tidak akan mengingkari janji-janjiNya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (Qs. Ar-Rum 6). [Azka Al-Faruq/azka_faruqi@yahoo.com]

Rabu, 07 April 2010

Tidak Lama Lagi Al Aqsha Hancur


Laporan informasi soal politik pembangunan pemukiman Israel, yahudisasi Al-Quds dan masjid Al-Aqsha
Sejak lama bahaya yang dihadapi Al-Quds dan masjid Al-Aqsha seperti genderan perang. Pada saat bangsa Arab dan umat Islam bermalas-malasan menghadang bahaya Israel ini, penjajah Israel semakin meningkatkan aktivitasnya meyahudikan kota suci ini terang-terangan. Di tengah kondisi menghadapi rencana Israel yang ingin menjadikan tahun 2010 penentuan membangun kuil Solomin di bawah puing-puing masjid Al-Aqsha, kami menyampaikan kepada mereka yang peduli di kalangan media massa laporan ini agar mengetahui gambaran bahaya yang mengancam Al-Quds dan masjid Al-Aqsha. Sebab media sekarang menjadi inti pertempuran sehingga mereka memiliki peran dalam membela Al-Quds dan masjid Al-Aqsha.

Berikut laporan tersebut:

· Selama 40 tahun lebih dari 24 ribu rumah dan bangunan dihancurkan dan lebih dari 60 ribu unit pemukiman Israel dibangun.

· Meski ketegangan realisasi rencana penggalian terowogan Israel di bawah masjid Al-Aqsha sudah sejak tahun 1863 dan aktivitasnya penggaliannya sejak tahun 1967, namun aktivitas itu meningkat sejak awal abad 21 ini. Tapi saat ini akibat penggalian itu sangat krusial dan tidak boleh didiamkan.

· Tujuan penggalian Israel dan pembangunan terowongan di bawah masjid Al-Aqsha dan sekitarnya adalah dalam rangka mencari bangunan mitos kuil Solomon.

· Israel menanam pemukiman di perkampungan-perkampungan Islam dengan cara menyita tanah mereka dan membangun pemukiman atau dengan cara menghancurkan rumah-rumah.

· Wali kota Israel di Jerusalem dari kanan ekstrim Neer Barakat dalam kampanye pemilihan wali kota menggunakan jargon “memerangi pembangunan warga Palestina yang tanpa izin di Al-Quds ,”

· Sejumlah resolusi DK PBB dan PBB nya sendiri, termasuk dari UNESCO untuk menghentikan penggalian di bawah masjid namun pemerintah penjajah tidak meresponnya dan terus menerapkan rencana Israel hingga tiang-tiang masjid runtuh.

· Di kuartal pertama tahun 2009, termasuk eskalasi paling tinggi dalam aksi pembongkaran dan penggusuran rumah warga Palestina di Al-Quds dan ancaman penghancuran rumah lainnya.

· Israel berusaha menjadikan tahun 2010 sebagai tahun penentu pembangunan kuil Solomon ke-III di bawah reruntuhan masjid Al-Aqsha. Ada sejumlah organisasi zionis berusaha meletakkan batu pertama kuil itu pada 16 Maret ini setelah diresmikan pembukaan sinagog Haroob pada 15 Maret sehari sebelumnya. Apakah kita siap menjaga Al-Aqsha???

Mukadimah

Di tengah bungkamnya dunia Arab dan Islam, persetujuan dunia kepada Israel, berlanjutnya Israel dalam rencana jahatnya mencaplok utuh Al-Quds, membersihkan symbol-simbol keislaman dari sana, mengusir warga hingga menggali terowongan di bawah masjid, kami menegaskan bahwa bahaya yang dihadapi Al-Quds seperti genderan perang.

Melalui laporan ini, kami ingin focus kepada bahaya Israel yang terus berlanjut terhadap kota Al-Quds dan masjid Aqsha. Kami sampaikan realitas-realitas sejarah tentang kejahatan Israel di tempat-tempat suci Islam di Al-Quds. Bahkan manusia dan batu pun tidak selamat dari bahaya ini.

Pertama; masjid Al-Aqsha dalam bidikan zionis Israel

1. Kekerasan terhadap masjid Al-Aqsha

2. Penggalian di sekitar masjid Al-Aqsha

3. Kelompok ekstrim zionis yahudi untuk penghancuran masjid Al-Aqsha

Kedua; kota Al-Quds di bawah permusuhan zionis Israel

1. Pemukiman dan kekerasan zionis Israel

2. Warga Al-Quds, antara rumah tinggalnya dengan pengusiran

3. Tembok pemisah rasial Israel

Ketiga; Keputusan dan rencana historis;

1. Rencana historis penting

2. Keputusan yahudisasi

3. Resolusi dunia internasional.

Pertama; Masjid Al-Aqsha dalam bidikan zionis Israel

Masjid Al-Aqsha yang dimaksud adalah komplek tertutup yang terletak di dalam pagar-pagar Al-Quds di sisi timurnya. Pagar-pagar bagian timur Al-Aqsha bersatu dengan pagar-pagar kota Al-Quds dan pagar bagian selatannya lebih panjang dari separuhnya di sebelah timur. Masjid ini berbentuk segiempat yang tidak simetris. Sisi barat sepanjang 491 M dan sisi timur 462 M, sisi selatan 281 M dan sisi utara 330 M.

Allah menjaga batas-batas masjid Al-Aqsha. Tak seorang pun melanggarnya. Sepanjang sejarah kaum muslimin baik di pemerintahan Ayyubiah dan Mamalik memperkuat batas-batas masjid. Mereka membangun pagar-pagar sebelah utara dan barat dan tiang tinggi serta sekolah-sekolah dan bangunan besar.

Namun sejak menjejakkan kakinya di tanah Palestina, penjajah Israel mulai melancarkan rencananya mencari mitos kuil Solomon dengan cara melakukan sejumlah kejahatan terhadap kehormatan masjid Al-Aqsha dan terhadap jamaah shalat, melakukan panggalian secara terorganisir di sekitar masjid, membangun terowongan-terowongan panjang untuk membangun mesium di bawah masjid.

Berikut rinciannya:

1. Kejahatan-kejahatan terhadap masjid Al-Aqsha

Hari ini masjid Al-Aqsha mengalami masa paling krusial akibat rencana jahat Israel yang ingin meyahudikanya, mengubah tanda-tandanya hingga menghancurkannya. Dalam menerapkan rencana itu, Israel tidak pernah istirahat meski sehari. Berikut pelanggaran paling besar yang dilakukan Israel terhadap masjid Al-Aqsha:

16/7/1948: warga yahudi menyerang masjid Al-Aqsha. Melalui pesawat tempurnya, mereka mengebom masjid dengan 60 bom salah satunya mengenai kubah Shokhroh dan lainnya mengenai masjid utama Al-Aqsha.

7/6/1967: Pasukan Israel memasang dan mengibarkan bendera di atas kubah Shakrah dan saat itu tembok Al-Barraq diambil alih.

15/8/1967: Rabi terbesar di pasukan Israel Shalomo Garon dan 50 pengikutnya melakukan ritual di halaman masjid Al-Aqsha.

21/8/1969: Seorang Yahudi Australia membakar mimbar Shalahuddin. Bagian masjid terbakar akibat ulah ini seluas 1500 M2.

22/7/1970: Sekelompok yahudi memasuki masjid Al-Aqsha dan menyanyikan lagu-lagu seruan menghancurkan masjid Al-Aqsha.

Mei 1980: Ditemukan bahan peledak jenis TNT seberat lebih dari 1 ton dekat masjid yang disiapkan oleh rabi yahudi Meir Kahana untuk menghancurkan masjid Al-Aqsha.

24/2/1982: polisi Israel memperkenankan sejumlah anggota parlemen Israel Knesset melakukan lawatan di dalam masjid Al-Aqsha.

11/4/1982: Seorang serdadu Israel menembaki penjaga masjid. Dua dari mereka gugur syahid kemudian disusul bentrokan dengan warga Palestina yang menyebabkan Sembilan warga meninggal syahid.

6/5/1982: Penembakan terhadap kubah Shakrah. Di tahun yang sama, seorang aktivis gerakan Kakha Israel berusaha menghancurkan masjid Al-Aqsha namun upaya itu tercium sebelum dilakukan.

11/3/1983: Penjaga-penjaga Al-Aqsha menangkap seorang warga yahudi membawa bahan peledak untuk menyerang masjid Al-Aqsha.

30/1/1984: tiga granat ditemukan di depan sebuah gerbang masjid Al-Aqsha. Awal Agustus tahun yang sama, penjaga masjid Al-Aqsha menangkap sejumlah warga yahudi yang siap menghancurkan masjid Al-Aqsha.

8/10/1990: Pasukan Israel membantai 20 warga Palestina dan melukai 115 lainnya di dalam masjid Al-Aqsha.

23/9/1996: Warga Palestina Al-Quds menemukan Israel membangun sebuah terowongan di bawah pagar masjid Al-Aqsha sebelah barat. Warga memprotes keras dan Israel membalas dengan kekerasan hingga delapan warga Palestina gugur syahid.

28/9/2000: PM Israel Ariel Sharon menistakan masjid Al-Aqsha dengan memasukinya dengan dikawal polisi. Maka meletuslah Intifadhah Al-Aqsha.
apa yang kita perbuat? berdiam dirikah?
Sumber
.

Aku pulang


Sekarang aku memahami mengapa kisah Muhammad dan Khadijah berulang-berulang di depan mataku...karena Sang Penulis Skenario Kehidupan sedang menunjukkan kekuasaanya.
Ternyata, di sudut dunia ini masih ada lelaki yang ikhlas menyontek pola tingkah Rasul Allah, bukan karena penilaian dunia, tetapi karena keyakinan pada Zat yang menciptakan Khadijah.
Ternyata, di sudut dunia ini masih ada yang berjuang keras untuk layak berada di barisan Bunda Khadijah, menjadi tetangga yang lebih erat ukhuwahnya daripada saudara karena darah.
Barakallah...
Untuk mereka...

Aku bukan Firaun dan kau pun tak lebih baik dari Musa...sangat tak layak kau perlakukan aku seolah-olah aku adalah Firaun....

Bayangan Topeng




Yaa…yaa……
Terimakasih, terimakasih
O ia nanti ku sesuaikan dengan jadwal acara.
Ngisi dimana? Disana kalau tidak salah tanggal itu aku ngisi acara di Jakarta.
Ya seperti itu, kalau aku selesai ceramah tepuk tangan dong.
Ngisi dimana, di desa? Aduh sepertinya aku gak bisa tuh.
Aku sudah capek, aku istirahat dulu ya.

Wah ternyata enak ya bangun habis istirahat, lebih segar
Aduh jadwal hari ini padat sekali, jam ini ke Bandung, jam ini ke Bali, lalu ke Malaysia masih banyak kota yang butuh siraman rohani dari aku.

Tapi dimana saya ya? Kok disini gelap, mati lampu ya?
Ah dasar pemerintah padal sudah bayar tapi kok masih mati, katanya lumbung energi. Aku kan orang terkenal mengapa harus mati lampu pula, padahal……
Nah gitu dong. Kalau listriknya hidup acara di kantor Gubernur gakkan batal.

Hei mengapa kamu menangis? Siapa kamu? Mengapa menyentuh ku? Nanti baju ku kotor. Sana pergi!
Ah………
Mengapa wajahmu mirip denganku? Siapa kamu? Apa kamu adalah diriku?
Apa kamu adalah diriku? Kamu adalah cerminan aku?
Ah mustahil, aku banyak uang kok mustahil wajahku berubah seperti itu.
Apa karena kesalahan aku?
Mustahil, aku kan rajin ibadah, aku kan rajin sedekah. Setiap aku ceramah ribuan bahkan ratusan ribu orang datang. Mustahil….
Apa kamu katakan aku berselimut dengan kain Islam. Kamu katakan aku berselimut dengan jubah dakwah.
Ah Tuhan yang salah kali? Aku seharusnya di Akhirat muka ku terang berderang.
Apa bukan hanya aku, keluargaku juga? Keluargaku juga?
Mana mungkin anak Dai kondang seperti aku bisa seperti itu.

Apa kaukatakan aku penyebab masuknya mereka ke neraka. Apa yang tidak ku penuhi keinginan mereka, uang, kesenangan, semuanya lengkap. Lengkap.
Apa karena aku tidak mengajarkan mereka agama. Aku tidak peduli dengan mereka?
Wajar kalau seandainya aku tidak peduli dengan mereka

Beauty and the Beast


Ini salah satu karya sastra yang tidak ada matinya. ini cerita Beauty and the Beast versi aslinya semoga bermanfaat.

Jeanne-Marie LePrince de Beaumont
There was once a very rich merchant, who had six children, three sons, and three daughters; being a man of sense, he spared no cost for their education, but gave them all kinds of masters. His daughters were extremely handsome, especially the youngest. When she was little everybody admired her, and called her "The little Beauty;" so that, as she grew up, she still went by the name of Beauty, which made her sisters very jealous.
The youngest, as she was handsomer, was also better than her sisters. The two eldest had a great deal of pride, because they were rich. They gave themselves ridiculous airs, and would not visit other merchants' daughters, nor keep company with any but persons of quality. They went out every day to parties of pleasure, balls, plays, concerts, and so forth, and they laughed at their youngest sister, because she spent the greatest part of her time in reading good books.
As it was known that they were great fortunes, several eminent merchants made their addresses to them; but the two eldest said, they would never marry, unless they could meet with a duke, or an earl at least. Beauty very civilly thanked them that courted her, and told them she was too young yet to marry, but chose to stay with her father a few years longer.
All at once the merchant lost his whole fortune, excepting a small country house at a great distance from town, and told his children with tears in his eyes, they must go there and work for their living. The two eldest answered, that they would not leave the town, for they had several lovers, who they were sure would be glad to have them, though they had no fortune; but the good ladies were mistaken, for their lovers slighted and forsook them in their poverty. As they were not beloved on account of their pride, everybody said; they do not deserve to be pitied, we are very glad to see their pride humbled, let them go and give themselves quality airs in milking the cows and minding their dairy. But, added they, we are extremely concerned for Beauty, she was such a charming, sweet-tempered creature, spoke so kindly to poor people, and was of such an affable, obliging behavior. Nay, several gentlemen would have married her, though they knew she had not a penny; but she told them she could not think of leaving her poor father in his misfortunes, but was determined to go along with him into the country to comfort and attend him. Poor Beauty at first was sadly grieved at the loss of her fortune; "but," said she to herself, "were I to cry ever so much, that would not make things better, I must try to make myself happy without a fortune."
When they came to their country house, the merchant and his three sons applied themselves to husbandry and tillage; and Beauty rose at four in the morning, and made haste to have the house clean, and dinner ready for the family. In the beginning she found it very difficult, for she had not been used to work as a servant, but in less than two months she grew stronger and healthier than ever. After she had done her work, she read, played on the harpsichord, or else sung whilst she spun.
On the contrary, her two sisters did not know how to spend their time; they got up at ten, and did nothing but saunter about the whole day, lamenting the loss of their fine clothes and acquaintance. "Do but see our youngest sister," said they, one to the other, "what a poor, stupid, mean-spirited creature she is, to be contented with such an unhappy dismal situation."
The good merchant was of quite a different opinion; he knew very well that Beauty outshone her sisters, in her person as well as her mind, and admired her humility and industry, but above all her humility and patience; for her sisters not only left her all the work of the house to do, but insulted her every moment.
The family had lived about a year in this retirement, when the merchant received a letter with an account that a vessel, on board of which he had effects, was safely arrived. This news had liked to have turned the heads of the two eldest daughters, who immediately flattered themselves with the hopes of returning to town, for they were quite weary of a country life; and when they saw their father ready to set out, they begged of him to buy them new gowns, headdresses, ribbons, and all manner of trifles; but Beauty asked for nothing for she thought to herself, that all the money her father was going to receive, would scarce be sufficient to purchase everything her sisters wanted.
"What will you have, Beauty?" said her father.
"Since you have the goodness to think of me," answered she, "be so kind to bring me a rose, for as none grows hereabouts, they are a kind of rarity." Not that Beauty cared for a rose, but she asked for something, lest she should seem by her example to condemn her sisters' conduct, who would have said she did it only to look particular.
The good man went on his journey, but when he came there, they went to law with him about the merchandise, and after a great deal of trouble and pains to no purpose, he came back as poor as before.
He was within thirty miles of his own house, thinking on the pleasure he should have in seeing his children again, when going through a large forest he lost himself. It rained and snowed terribly; besides, the wind was so high, that it threw him twice off his horse, and night coming on, he began to apprehend being either starved to death with cold and hunger, or else devoured by the wolves, whom he heard howling all round him, when, on a sudden, looking through a long walk of trees, he saw a light at some distance, and going on a little farther perceived it came from a place illuminated from top to bottom. The merchant returned God thanks for this happy discovery, and hastened to the place, but was greatly surprised at not meeting with any one in the outer courts. His horse followed him, and seeing a large stable open, went in, and finding both hay and oats, the poor beast, who was almost famished, fell to eating very heartily; the merchant tied him up to the manger, and walking towards the house, where he saw no one, but entering into a large hall, he found a good fire, and a table plentifully set out with but one cover laid. As he was wet quite through with the rain and snow, he drew near the fire to dry himself. "I hope," said he, "the master of the house, or his servants will excuse the liberty I take; I suppose it will not be long before some of them appear."
He waited a considerable time, until it struck eleven, and still nobody came. At last he was so hungry that he could stay no longer, but took a chicken, and ate it in two mouthfuls, trembling all the while. After this he drank a few glasses of wine, and growing more courageous he went out of the hall, and crossed through several grand apartments with magnificent furniture, until he came into a chamber, which had an exceeding good bed in it, and as he was very much fatigued, and it was past midnight, he concluded it was best to shut the door, and go to bed.
It was ten the next morning before the merchant waked, and as he was going to rise he was astonished to see a good suit of clothes in the room of his own, which were quite spoiled; certainly, said he, this palace belongs to some kind fairy, who has seen and pitied my distress. He looked through a window, but instead of snow saw the most delightful arbors, interwoven with the beautifullest flowers that were ever beheld. He then returned to the great hall, where he had supped the night before, and found some chocolate ready made on a little table. "Thank you, good Madam Fairy," said he aloud, "for being so careful, as to provide me a breakfast; I am extremely obliged to you for all your favors."
The good man drank his chocolate, and then went to look for his horse, but passing through an arbor of roses he remembered Beauty's request to him, and gathered a branch on which were several; immediately he heard a great noise, and saw such a frightful Beast coming towards him, that he was ready to faint away.
"You are very ungrateful," said the Beast to him, in a terrible voice; "I have saved your life by receiving you into my castle, and, in return, you steal my roses, which I value beyond any thing in the universe, but you shall die for it; I give you but a quarter of an hour to prepare yourself, and say your prayers."
The merchant fell on his knees, and lifted up both his hands, "My lord," said he, "I beseech you to forgive me, indeed I had no intention to offend in gathering a rose for one of my daughters, who desired me to bring her one."
"My name is not My Lord," replied the monster, "but Beast; I don't love compliments, not I. I like people to speak as they think; and so do not imagine, I am to be moved by any of your flattering speeches. But you say you have got daughters. I will forgive you, on condition that one of them come willingly, and suffer for you. Let me have no words, but go about your business, and swear that if your daughter refuse to die in your stead, you will return within three months."
The merchant had no mind to sacrifice his daughters to the ugly monster, but he thought, in obtaining this respite, he should have the satisfaction of seeing them once more, so he promised, upon oath, he would return, and the Beast told him he might set out when he pleased, "but," added he, "you shall not depart empty handed; go back to the room where you lay, and you will see a great empty chest; fill it with whatever you like best, and I will send it to your home," and at the same time Beast withdrew.
"Well," said the good man to himself, "if I must die, I shall have the comfort, at least, of leaving something to my poor children." He returned to the bedchamber, and finding a great quantity of broad pieces of gold, he filled the great chest the Beast had mentioned, locked it, and afterwards took his horse out of the stable, leaving the palace with as much grief as he had entered it with joy. The horse, of his own accord, took one of the roads of the forest, and in a few hours the good man was at home.
His children came round him, but instead of receiving their embraces with pleasure, he looked on them, and holding up the branch he had in his hands, he burst into tears. "Here, Beauty," said he, "take these roses, but little do you think how dear they are like to cost your unhappy father," and then related his fatal adventure. Immediately the two eldest set up lamentable outcries, and said all manner of ill-natured things to Beauty, who did not cry at all.
"Do but see the pride of that little wretch," said they; "she would not ask for fine clothes, as we did; but no truly, Miss wanted to distinguish herself, so now she will be the death of our poor father, and yet she does not so much as shed a tear."
"Why should I," answered Beauty, "it would be very needless, for my father shall not suffer upon my account, since the monster will accept of one of his daughters, I will deliver myself up to all his fury, and I am very happy in thinking that my death will save my father's life, and be a proof of my tender love for him."
"No, sister," said her three brothers, "that shall not be, we will go find the monster, and either kill him, or perish in the attempt."
"Do not imagine any such thing, my sons," said the merchant, "Beast's power is so great, that I have no hopes of your overcoming him. I am charmed with Beauty's kind and generous offer, but I cannot yield to it. I am old, and have not long to live, so can only loose a few years, which I regret for your sakes alone, my dear children."
"Indeed father," said Beauty, "you shall not go to the palace without me, you cannot hinder me from following you." It was to no purpose all they could say. Beauty still insisted on setting out for the fine palace, and her sisters were delighted at it, for her virtue and amiable qualities made them envious and jealous.
The merchant was so afflicted at the thoughts of losing his daughter, that he had quite forgot the chest full of gold, but at night when he retired to rest, no sooner had he shut his chamber door, than, to his great astonishment, he found it by his bedside; he was determined, however, not to tell his children, that he was grown rich, because they would have wanted to return to town, and he was resolved not to leave the country; but he trusted Beauty with the secret, who informed him, that two gentlemen came in his absence, and courted her sisters; she begged her father to consent to their marriage, and give them fortunes, for she was so good, that she loved them and forgave heartily all their ill usage. These wicked creatures rubbed their eyes with an onion to force some tears when they parted with their sister, but her brothers were really concerned. Beauty was the only one who did not shed tears at parting, because she would not increase their uneasiness.
The horse took the direct road to the palace, and towards evening they perceived it illuminated as at first. The horse went of himself into the stable, and the good man and his daughter came into the great hall, where they found a table splendidly served up, and two covers. The merchant had no heart to eat, but Beauty, endeavoring to appear cheerful, sat down to table, and helped him. "Afterwards," thought she to herself, "Beast surely has a mind to fatten me before he eats me, since he provides such plentiful entertainment." When they had supped they heard a great noise, and the merchant, all in tears, bid his poor child, farewell, for he thought Beast was coming. Beauty was sadly terrified at his horrid form, but she took courage as well as she could, and the monster having asked her if she came willingly; "ye -- e -- es," said she, trembling.
The beast responded, "You are very good, and I am greatly obliged to you; honest man, go your ways tomorrow morning, but never think of coming here again."
"Farewell Beauty, farewell Beast," answered he, and immediately the monster withdrew. "Oh, daughter," said the merchant, embracing Beauty, "I am almost frightened to death, believe me, you had better go back, and let me stay here."
"No, father," said Beauty, in a resolute tone, "you shall set out tomorrow morning, and leave me to the care and protection of providence." They went to bed, and thought they should not close their eyes all night; but scarce were they laid down, than they fell fast asleep, and Beauty dreamed, a fine lady came, and said to her, "I am content, Beauty, with your good will, this good action of yours in giving up your own life to save your father's shall not go unrewarded." Beauty waked, and told her father her dream, and though it helped to comfort him a little, yet he could not help crying bitterly, when he took leave of his dear child.
As soon as he was gone, Beauty sat down in the great hall, and fell a crying likewise; but as she was mistress of a great deal of resolution, she recommended herself to God, and resolved not to be uneasy the little time she had to live; for she firmly believed Beast would eat her up that night.
However, she thought she might as well walk about until then, and view this fine castle, which she could not help admiring; it was a delightful pleasant place, and she was extremely surprised at seeing a door, over which was written, "Beauty's Apartment." She opened it hastily, and was quite dazzled with the magnificence that reigned throughout; but what chiefly took up her attention, was a large library, a harpsichord, and several music books. "Well," said she to herself, "I see they will not let my time hang heavy upon my hands for want of amusement." Then she reflected, "Were I but to stay here a day, there would not have been all these preparations." This consideration inspired her with fresh courage; and opening the library she took a book, and read these words, in letters of gold:
Welcome Beauty, banish fear,
You are queen and mistress here.
Speak your wishes, speak your will,
Swift obedience meets them still.
"Alas," said she, with a sigh, "there is nothing I desire so much as to see my poor father, and know what he is doing." She had no sooner said this, when casting her eyes on a great looking glass, to her great amazement, she saw her own home, where her father arrived with a very dejected countenance. Her sisters went to meet him, and notwithstanding their endeavors to appear sorrowful, their joy, felt for having got rid of their sister, was visible in every feature. A moment after, everything disappeared, and Beauty's apprehensions at this proof of Beast's complaisance.
At noon she found dinner ready, and while at table, was entertained with an excellent concert of music, though without seeing anybody. But at night, as she was going to sit down to supper, she heard the noise Beast made, and could not help being sadly terrified. "Beauty," said the monster, "will you give me leave to see you sup?"
"That is as you please," answered Beauty trembling.
"No," replied the Beast, "you alone are mistress here; you need only bid me gone, if my presence is troublesome, and I will immediately withdraw. But, tell me, do not you think me very ugly?"
"That is true," said Beauty, "for I cannot tell a lie, but I believe you are very good natured."
"So I am," said the monster, "but then, besides my ugliness, I have no sense; I know very well, that I am a poor, silly, stupid creature."
"'Tis no sign of folly to think so," replied Beauty, "for never did fool know this, or had so humble a conceit of his own understanding."
"Eat then, Beauty," said the monster, "and endeavor to amuse yourself in your palace, for everything here is yours, and I should be very uneasy, if you were not happy."
"You are very obliging," answered Beauty, "I own I am pleased with your kindness, and when I consider that, your deformity scarce appears."
"Yes, yes," said the Beast, "my heart is good, but still I am a monster."
"Among mankind," says Beauty, "there are many that deserve that name more than you, and I prefer you, just as you are, to those, who, under a human form, hide a treacherous, corrupt, and ungrateful heart."
"If I had sense enough," replied the Beast, "I would make a fine compliment to thank you, but I am so dull, that I can only say, I am greatly obliged to you."
Beauty ate a hearty supper, and had almost conquered her dread of the monster; but she had like to have fainted away, when he said to her, "Beauty, will you be my wife?"
She was some time before she dared answer, for she was afraid of making him angry, if she refused. At last, however, she said trembling, "no Beast." Immediately the poor monster went to sigh, and hissed so frightfully, that the whole palace echoed. But Beauty soon recovered her fright, for Beast having said, in a mournful voice, "then farewell, Beauty," left the room; and only turned back, now and then, to look at her as he went out.
When Beauty was alone, she felt a great deal of compassion for poor Beast. "Alas," said she, "'tis thousand pities, anything so good natured should be so ugly."
Beauty spent three months very contentedly in the palace. Every evening Beast paid her a visit, and talked to her, during supper, very rationally, with plain good common sense, but never with what the world calls wit; and Beauty daily discovered some valuable qualifications in the monster, and seeing him often had so accustomed her to his deformity, that, far from dreading the time of his visit, she would often look on her watch to see when it would be nine, for the Beast never missed coming at that hour. There was but one thing that gave Beauty any concern, which was, that every night, before she went to bed, the monster always asked her, if she would be his wife. One day she said to him, "Beast, you make me very uneasy, I wish I could consent to marry you, but I am too sincere to make you believe that will ever happen; I shall always esteem you as a friend, endeavor to be satisfied with this."
"I must," said the Beast, "for, alas! I know too well my own misfortune, but then I love you with the tenderest affection. However, I ought to think myself happy, that you will stay here; promise me never to leave me."
Beauty blushed at these words; she had seen in her glass, that her father had pined himself sick for the loss of her, and she longed to see him again. "I could," answered she, "indeed, promise never to leave you entirely, but I have so great a desire to see my father, that I shall fret to death, if you refuse me that satisfaction."
"I had rather die myself," said the monster, "than give you the least uneasiness. I will send you to your father, you shall remain with him, and poor Beast will die with grief."
"No," said Beauty, weeping, "I love you too well to be the cause of your death. I give you my promise to return in a week. You have shown me that my sisters are married, and my brothers gone to the army; only let me stay a week with my father, as he is alone."
"You shall be there tomorrow morning," said the Beast, "but remember your promise. You need only lay your ring on a table before you go to bed, when you have a mind to come back. Farewell Beauty." Beast sighed, as usual, bidding her good night, and Beauty went to bed very sad at seeing him so afflicted. When she waked the next morning, she found herself at her father's, and having rung a little bell, that was by her bedside, she saw the maid come, who, the moment she saw her, gave a loud shriek, at which the good man ran up stairs, and thought he should have died with joy to see his dear daughter again. He held her fast locked in his arms above a quarter of an hour. As soon as the first transports were over, Beauty began to think of rising, and was afraid she had no clothes to put on; but the maid told her, that she had just found, in the next room, a large trunk full of gowns, covered with gold and diamonds. Beauty thanked good Beast for his kind care, and taking one of the plainest of them, she intended to make a present of the others to her sisters. She scarce had said so when the trunk disappeared. Her father told her, that Beast insisted on her keeping them herself, and immediately both gowns and trunk came back again.
Beauty dressed herself, and in the meantime they sent to her sisters who hastened thither with their husbands. They were both of them very unhappy. The eldest had married a gentleman, extremely handsome indeed, but so fond of his own person, that he was full of nothing but his own dear self, and neglected his wife. The second had married a man of wit, but he only made use of it to plague and torment everybody, and his wife most of all. Beauty's sisters sickened with envy, when they saw her dressed like a princess, and more beautiful than ever, nor could all her obliging affectionate behavior stifle their jealousy, which was ready to burst when she told them how happy she was. They went down into the garden to vent it in tears; and said one to the other, in what way is this little creature better than us, that she should be so much happier? "Sister," said the oldest, "a thought just strikes my mind; let us endeavor to detain her above a week, and perhaps the silly monster will be so enraged at her for breaking her word, that he will devour her."
"Right, sister," answered the other, "therefore we must show her as much kindness as possible." After they had taken this resolution, they went up, and behaved so affectionately to their sister, that poor Beauty wept for joy. When the week was expired, they cried and tore their hair, and seemed so sorry to part with her, that she promised to stay a week longer.
In the meantime, Beauty could not help reflecting on herself, for the uneasiness she was likely to cause poor Beast, whom she sincerely loved, and really longed to see again. The tenth night she spent at her father's, she dreamed she was in the palace garden, and that she saw Beast extended on the grass plat, who seemed just expiring, and, in a dying voice, reproached her with her ingratitude. Beauty started out of her sleep, and bursting into tears. "Am I not very wicked," said she, "to act so unkindly to Beast, that has studied so much, to please me in everything? Is it his fault if he is so ugly, and has so little sense? He is kind and good, and that is sufficient. Why did I refuse to marry him? I should be happier with the monster than my sisters are with their husbands; it is neither wit, nor a fine person, in a husband, that makes a woman happy, but virtue, sweetness of temper, and complaisance, and Beast has all these valuable qualifications. It is true, I do not feel the tenderness of affection for him, but I find I have the highest gratitude, esteem, and friendship; I will not make him miserable, were I to be so ungrateful I should never forgive myself." Beauty having said this, rose, put her ring on the table, and then laid down again; scarce was she in bed before she fell asleep, and when she waked the next morning, she was overjoyed to find herself in the Beast's palace.
She put on one of her richest suits to please him, and waited for evening with the utmost impatience, at last the wished-for hour came, the clock struck nine, yet no Beast appeared. Beauty then feared she had been the cause of his death; she ran crying and wringing her hands all about the palace, like one in despair; after having sought for him everywhere, she recollected her dream, and flew to the canal in the garden, where she dreamed she saw him. There she found poor Beast stretched out, quite senseless, and, as she imagined, dead. She threw herself upon him without any dread, and finding his heart beat still, she fetched some water from the canal, and poured it on his head. Beast opened his eyes, and said to Beauty, "You forgot your promise, and I was so afflicted for having lost you, that I resolved to starve myself, but since I have the happiness of seeing you once more, I die satisfied."
"No, dear Beast," said Beauty, "you must not die. Live to be my husband; from this moment I give you my hand, and swear to be none but yours. Alas! I thought I had only a friendship for you, but the grief I now feel convinces me, that I cannot live without you." Beauty scarce had pronounced these words, when she saw the palace sparkle with light; and fireworks, instruments of music, everything seemed to give notice of some great event. But nothing could fix her attention; she turned to her dear Beast, for whom she trembled with fear; but how great was her surprise! Beast was disappeared, and she saw, at her feet, one of the loveliest princes that eye ever beheld; who returned her thanks for having put an end to the charm, under which he had so long resembled a Beast. Though this prince was worthy of all her attention, she could not forbear asking where Beast was.
"You see him at your feet, said the prince. A wicked fairy had condemned me to remain under that shape until a beautiful virgin should consent to marry me. The fairy likewise enjoined me to conceal my understanding. There was only you in the world generous enough to be won by the goodness of my temper, and in offering you my crown I can't discharge the obligations I have to you."
Beauty, agreeably surprised, gave the charming prince her hand to rise; they went together into the castle, and Beauty was overjoyed to find, in the great hall, her father and his whole family, whom the beautiful lady, that appeared to her in her dream, had conveyed thither.
"Beauty," said this lady, "come and receive the reward of your judicious choice; you have preferred virtue before either wit or beauty, and deserve to find a person in whom all these qualifications are united. You are going to be a great queen. I hope the throne will not lessen your virtue, or make you forget yourself. As to you, ladies," said the fairy to Beauty's two sisters, "I know your hearts, and all the malice they contain. Become two statues, but, under this transformation, still retain your reason. You shall stand before your sister's palace gate, and be it your punishment to behold her happiness; and it will not be in your power to return to your former state, until you own your faults, but I am very much afraid that you will always remain statues. Pride, anger, gluttony, and idleness are sometimes conquered, but the conversion of a malicious and envious mind is a kind of miracle."
Immediately the fairy gave a stroke with her wand, and in a moment all that were in the hall were transported into the prince's dominions. His subjects received him with joy. He married Beauty, and lived with her many years, and their happiness -- as it was founded on virtue -- was complete.
.