Selasa, 27 Januari 2009

Perempuan BErkalung Sorban dalam Pandangan Orang Biasa


BAgiku film in bagus ya mungkin bagi orang ceritanya masih di bawah Ayat-ayat cinta.
tapi bagiku yang namanya cerita itu tetaplah bagus karena pasti memiliki ciri yang beda dengan yang laen.


dari judulnya sudah sangat jelas film ini bercerita tentang emansipasi.sorban yang biasanya digunakan oleh laki-laki malah dipakai oleh perempuan. dan biasanya sorban itu identik juga dengan laki-laki yang mau berperang.tapi malah disandingkan dengan perempuan berjilbab dan sorban.ditambah kuda lagi.


yang jelas bagi aq film ini layak ditonton karena disinilah akan didapat kenapa wanita kalau kluar rmhg harus ditemani mahramnya.disini juga didapat bagaimana seharusnya laki-;laki perlakukan wanita. bagaimana qta seharusnya beragama?
dimana qta bebas tapi ada tanggung jawab. beragama yang tidak kaku.

tapi film ini juga memiliki kelemahan ya meskpun tdk bgtu penting c. ya spt seting mesir yang sedikit maksa dan jilbab yang di pakai adalah jilbab yang ada di massa sekarang padahal itu b ercerita tentang taun 90an.



yang jelas baik positif dan negatifnya film ini layak ditonton

orang_biasa17

Behind the scene PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN



Setelah sukses dengan film Get Married, Hanung Bramantyo bersama Starvision ingin mengulang kembali kesuksesan itu lewat film PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN.

Diluar proses penulisan skenario yang cukup panjang, persiapan film ini memakan waktu 3 bulan (dari bulan Juni – Agustus 2008) mulai dari penyusunan konsep, rekruitmen crew dan penyatuan visi dan misi terhadap kumpulan berbagai kreatif yang terlibat hingga casting. Tim kreatif yang dipilih melibatkan Ginatri S. Noor & Hanung Bramantyo (Screenplay), Faozan Rizal (DOP), Oscart Firdaus (Art Director), Wawan I Wibowo (Editor), Adimolana & Adityawan Susanto (Sound), Tya Subiakto (Music Director), Retno Ratih Damayanti (Make Up & Costum), Suatu komposisi tim yang sudah memiliki nama dan kompetensi di dunia perfilman nasional.

Di dalam casting awalnya menemukan banyak sekali kendala, mulai dari pemilihan pemeran utama, Annisa dan juga Pemeran Pendamping Kyai Hanan, sebagai Ayah Annisa. Setelah melalui proses casting yang cukup melelahkan serta diskusi diantara para team kreatif maka terpilihlah Revalina S Temat sebagai Annisa dan Joshua Pandelaki sebagai Kyai Hanan. Selain dua nama tersebut, yang memang sudah tidak asing lagi di dunia perfilman Indonesia, ada sederetan nama aktor dan aktris ternama lainnya, seperti, Widyawati sebagai Nyai, Ibu Annisa, Cici Tegal sebagai Nyai Syarifah, Leroy Osmani sebagai Kyai Ali, Oka Antara sebagai Khudori, Eron Lebang sebagai Reza, Pangky Suwito sebagai Ayah Samsuddin, Eda Leman Sebagai Ibu Samsuddin, Berliana Febrianti Sebagai Maryam, Risty Tagor sebagai Ulfa. Dan film ini juga didukung oleh pendatang baru Reza Rahardian sebagai Samsuddin.

Hunting atau pencarian lokasi juga dilakukan dengan seksama dengan sangat detail. Ada beberapa lokasi di Jogjakarta, Jakarta dan Bogor. Untuk Jogjakarta mengambil beberapa lokasi pantai yang dipakai sebagai view dari pemandangan pantai sekitar Pondok pesantren, exterior rumah Kyai Hanan, set Istal Kuda dan tentunya establish dari kota Jogjakarta itu sendiri. Sedangkan Jakarta memilih lokasi dibeberapa bangunan tua di kota lama, Jakarta utara. Beberapa bangunan-bangunan kuno di kota lama ini diset sebagai kampus, Gedung Bioskop Jombang dan pasar Jombang. Khusus untuk Set pasar Jombang ini melibatkan kurang lebih 150 figuran. Selain dua kota tersebut dipilih juga kota Bogor yang terkenal dengan hawa sejuknya. Di kota ini team artistik memanfaatkan sebuah bangunan tua peninggalan Belanda sebagai set Pesantren Al-Huda. Untuk menciptakan suasana pesantren ini, melibatkan lebih dari 200 figuran yang membuat suasana pesantren menjadi lebih hidup dan nampak riil. Selain itu, sebuah rumah tua di salah satu sudut kota Bogor juga digunakan sebagai set rumah Samsuddin.

Selain itu Banyak hal yang menarik selama shooting, dimana pemeran utama Revalina S Temat yang sebelumnya telah berlatih terlebih dahulu selama 1 minggu di Jakarta untuk menunggang kuda, tetap mendapatkan kendala pada saat proses shoting berlangsung, terlebih lagi proses pengambilan adegan menunggang kuda di bibir pantai ini harus dilakukan berulang-ulang yang cukup menguras energi. Dan untuk beberapa adegan menunggang kuda di sebuah padang pasir di Pantai Parangkusumo, Revalina harus digantikan oleh Stunt In yang telah berpengalaman dalam menunggang kuda. Selain itu ada juga sebuah adegan dimana jalanan depan kraton Jogja harus diblokir untuk membuat set adegan pawai bermotor dari kampanye sebuah partai politik ditahun 1996. dalam adegan pawai bermotor ini melibatkan kurang lebih 70 motor dengan jumlah figuran lebih dari 100 orang lengkap dengan atribut parpol yang telah dibuat oleh team artistik dan juga kostum. Selain adegan pawai bermotor ada pula sebuah adegan yang melibatkan 150 figuran di sebuah set istal kuda dipinggir pantai Krakal Jogjakarta, dimana semua pemain terlibat dalam scene ini, sebuah scene yang menguras energi dan emosi, ditengah terik mentari yang menyengat kulit. Semua pemain dan Crew film bahu-membahu untuk menciptakan sebuah adegan yang dramatis. Dengan kesungguhan dan komitmen yang tinggi untuk menghadirkan tontonan yang bermutu dan akhirnya semua-nya bisa terselesaikan dengan hasil yang memuaskan.

Rangkaian gambar-gambar indah dalam film ini terekam dalam bahan baku film Seluloid 35 Mm. Film ini ingin menghadirkan unsur romance dan drama yang bisa menguras air mata, Sebuah film yang dibuat dengan penuh kesungguhan dan dengan penuh rasa cinta.

Resensi Perempuan Berkalung Sorban


Starring:
Revalina S Temat, Oka Antara, Widyawati, Joshua Pandelaki, Leroy Osmani, Cici Tegal, Ida Leman, Pangki Suwito, Risty Tagor, Berliana Febrianti, Reza Rahardian
Screenplay By:
Ginatri S Noer, Hanung Bramantyo
Directed By:
Hanung Bramantyo
Produced By:
Starvision
Plot Outline:
Sinopsis Film
Perempuan Berkalung Sorban

Berdasarkan Novel karya : Abidah El Khalieqy

Ini adalah sebuah kisah pengorbanan seorang perempuan, Seorang anak kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri. Annisa (23th), seorang perempuan dengan pendirian kuat. Cantik dan cerdas. Annisa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren Salafiah putri Al Huda Jombang, Jawa Timur. Pesantren Salafiah putri Al Huda adalah pesantren kolot dan kaku. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah Quran, Hadist dan Sunnah. Ilmu lain yang diperoleh dari buku-buku apalagi buku modern dianggap menyimpang. Karena itu para santri, termasuk Annisa, dilarang membaca buku-buku tersebut.

Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim. Seorang muslimah yang baik menurut Islam adalah, tidak diperbolehkan membantah suami; Haram meminta cerai suami; selalu ikhlas menerima kekurangan dan kelebihan suami, termasuk jika suami berkehendak melakukan poligami; Tidak boleh berkata lebih keras dari suaminya, sekalipun dalam menyatakan ketidaksetujuan; Tidak boleh mengulur-ulur waktu bahkan menolak ketika suami mengajak berjimak; Ikhlas menerima pembagian waris sekalipun hanya ¼ bagian. (lebih kecil daripada bagian laki-laki).

Pelajaran itu membuat Annisa beranggapan bahwa Islam sangat membela laki-laki. Islam meletakkan perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Sejak kecil Annisa selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dari Kyai. Dua orang kakaknya boleh belajar berkuda, sementara Annisa tidak boleh hanya karena dirinya perempuan.

‘Bagaimana dengan Hindun Binti Athaba?’ Tanya Annisa kepada ayahnya. ‘Beliau perempuan, seorang panglima. Lalu Fatima Azahra, putri Rosul, malah memimpin perang.’ Tapi protes Annisa selalu dianggap rengekan anak kecil. Annisa juga sering memprotes, ketika Ustadz Ali mengajarkan kitab Ahlkaqul Nisaa, Bulughul Maram dan Bidayatul Mujtahid, yang membahas hak dan kewajiban perempuan dihadapan suami yang dirasa tidak adil bagi Annisa. ‘Apa hukuman buat suami yang minta cerai,. Padahal sang isteri kekeuh mempertahankan rumah tangga?’ Tanya Annisa kepada Ustadz Ali. ‘Lalu bagaimana jika suami yang mengulur-ulur waktu atau menolak ketika sang isteri mengajak berjimak? Apa hukuman buat suami?’

Lagi-lagi protes Annisa hanya dianggap sambil lalu. Annisa selalu merasa dirinya berada dalam situasi yang salah. Hanya Khudori, paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Annisa. Menghiburnya sekaligus menyajikan ‘dunia’ yang lain bagi Annisa. Khudori selalu menjadi tambatan, curahan perasaan Annisa ketika dirinya diperlakukan tidak adil oleh keluarganya. Diam-diam Annisa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan, sekalipun bukan sedarah. Khudori juga menyadari selisih umur yang terpaut jauh dengan Annisa. Hal itu membuat Khudori selalu membunuh cintanya demi menjaga stabilitas pesantren. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo.

Khudori selalu menekankan ke Annisa untuk belajar. Kalau perlu sampai ke luar negeri. Khudori yang membawa apemikiran Annisa kearah keterbukaan wawasan, hingga secara diam-diam Annisa mencoba mendaftarkan kuliah ke jogja dan keterima. Tapi kenyataan berkata lain. Kyai Hanan tidak mengijinkan Annisa melanjutkan kuliah ke Jogja, dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh orang tua. Annisa merengek dan protes dengan alasan ayahnya.

Akhirnya Annisa malah dinikahkan dengan Samsudin, seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jombang. Pernikahan itu dimaksudnya juga sebagai pernikahan dua pesantren Salafiah yang mana nantinya akan menjadi pesantren besar di kota Jombang seperti Tebu Ireng. Sekalipun hati Annisa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga demi kelangsungan keluarga dan pesantren Al Huda.

Dalam mengarungi rumah tangga bersama Samsudin. Annisa selalu menadapatkan perlakuan kasar dari samsudin. Samsudin adalah tipe seorang laki-laki pengidap kelainan psikologis. Seorang lelaki possesif, kasar. Tapi ketika Annisa berniat meninggalkannya, Samsudin akan berubah menjadi lelaki rapuh yang merengek-rengek sambil bersujud meminta ampun kepada Annisa. Biduk keluarga Annisa berlangsung bagai neraka. Tubuh Annisa yang semula segar bercahaya, menjadi suram. Apalagi dalam 2 tahun pernikahan, Annisa tidak dikaruniai anak. Keluarga Samsudin semakin memandang buruk Annisa dan samsudin. Sampai kemudian Annisa harus menhadapi kenyataan Samsudin menikah lagi dengan seorang janda bernama Kalsum. Seorang perempuan lebih tua, cantik dan bisa mempunyai anak. Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Annisa seketika runtuh. Annisa berada dalam pusaran gelombang panas yang tidak memiliki harapan untuk keluar.

Dalam keputusasaaan itu, Khudori pulang dari Kairo. Annisa seperti mendapatkan harapan. Tapi Khudori bukan seorang anak Kyai seperti Samsudin. Apalah arti seorang Khudori bagi keselamatan Annisa. Tapi Annisa tidak peduli. Dia tumpahkan keluh kesah ke Khudori. Annisa meminta Khudori membawanya pergi. Annisa rela dianggap anak durhaka asal dirinya bisa keluar dari kemelut keluarganya. Tapi Khudori bukan lelaki gegabah. Khudori mencoba meredam ‘bara’ Annisa. Dalam kegusarannya itu, Khudori memeluk Annisa. Sebuah pelukan hangat seorang paman kepada keponakannya yang sedang resah. Tapi tiba-tiba, Samsudin datang dan memergoki kedunya. Samsudin berteriak ‘Zinah! Rajam! Rajam!’ yang kemudian membawa Annisa dan Khudori kedalam kemelut fitnah. Annisa tidak bisa berbuat apa-apa karena orang-orang sudah terlanjur terbakar emosi fitnah. Kejadian itu membuat Kyai Hanan malu dan sakit hingga kemudian meninggal. Khudori diusir dari kelangan keluarga pesantren Al Huda, sementara Annisa pergi ke jogja untuk melanjutkan niatannya sekolah. Pesantren Al Huda diserahkan kepada Reza, kakak Annisa untuk dikelola. Akibat peristiwa itu, hubungan keluarga Samsudin dan Annisa menjadi buruk. Tapi Reza mencoba memperbaiki hubungan silaturahmi dengan keluarga Samsudin demi kepentingan pesantren. Hal itu membuat hubungan Reza dan Annisa renggang. Dimata Reza, Annisa seorang perusak stabilitas keluarga. Perilaku Annisa buka cerminan anak kyai yang baik. Sementara itu Annisa berkembang sebagai muslimah dengan wawasan dan pergaulan yang luas. Lewat studinya sebagai penulis, Annisa banyak menyerap ilmu tentang filsafat modern dan pandangan orang barat terhadap Islam. Banyak buku sudah dihasilkan dari Annisa yang memotret hak perempuan dalam Islam.

Dalam kiprahnya itu, Annisa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai. Namun Annisa masih dalam trauma pernikahan. Tapi Khudori adalah lelaki dewasa yang bisa mengerti kondisi Annisa. Akhirnya keduanya menikah meski sebetulnya pernikahan itu membuat hubungan Annisa dan keluarganya semakin jauh. Oleh Khudori Annisa disarankan untuk pulang. Annisa tidak mau karena dirinya sudah merasa diusir dari rumah itu. ‘Sebenarnya tidak ada yang mengusir kamu. Kamu yang selalu merasa terusir oleh kami.’ Begitu Ibunya selalu bilang kepada Annisa. Bagi Annisa Ibu adalah figure yang lemah. Tidak berdaya dihadapan ayahnya. Ibu bukan seorang yang bisa dijadikan teladan bagi Annisa. Tapi kemudian Annisa sadar bahwa untuk menciptakan lingkungan nyaman, seseorangan harus mengubah dirinya menjadi nyaman. Dan itu yang dilakukan oleh Ibu, yang biasa dipanggil Nyai. Rasa diam ibu, yang dianggap Annisa sikap lemah dan tak berdaya, sebenarnya adalah sikap toleran dan pengertian demi lingkungan stabil yang dia perjuangkan.

Akhirnya Annisa pulang dan sujud dihadapan ibunya. Kata maaf dari Annisa bukan ditujukan untuk suatu kesalahan. Tapi sebuah sujud rasa bakti kepada orang tua. Dalam kata maaf itu, Annisa berjanji untuk terus berjuang menjadi yang terbaik. Menjadi muslimah sebagaimana yang Ayah dan Ibunya inginkan ….


Jakarta, 6 Juni 2008
Hanung Bramantyo dan Ginatri S Noer